Cerpen : Ibu Terbakar Di Album Kami (2)

Cerpen : Ibu Terbakar Di Album Kami (1)
Angin malam berdesir melalui jendela kamar yang terbuka ketika Ibu membuka lemari besi di bawah tempat tidur reotnya di rumah susun. Berlian berdiri di ambang pintu, menyaksikan Ibu mengeluarkan sebuah album foto tua yang kulitnya sudah retak-retak.

“Aku tidak akan membawa ini,” bisik Ibu, jemarinya menyentuh halaman pertama yang menampilkan foto pernikahannya. Wajahnya yang masih muda tersenyum kaku disamping Ayah yang berdiri tegak dengan kebanggaan palsu.

Dengan gerakan mantap, Ibu merobek foto itu tepat di tengah, memisahkan dirinya dari bayangan laki-laki yang selama ini mengikatnya.

“Biar Berlian bantu, Bu.” Berlian maju, mengambil foto berikutnya – gambar Tiara kecil yang digendong Ayah, sementara sang Ibu terpotong di pinggir frame. Robekan kertas terdengar seperti derai tawa pahit.

Satu per satu, kenangan itu mereka musnahkan. Foto keluarga di pantai – di mana Ayah memaksa mereka pulang karena cemburu pada pria yang kebetulan salah satu partner bisnis Ibu tengah melakukan perjalanan bisnis di sana. Potret ulang tahu Berlian – di mana ibu harus meninggalkan acara karena dipanggil kerja. Gambar liburan ke Jogja – di mana Ayah mengunci Ibu di kamar hotel semalaman dan memaksa keinginannya.

Hanya satu foto yang selamat – potret Ibu muda yang tengah berdiri di kampus impiannya. Waktu itu, Ibu adalah murid berprestasi, selama SMA ibu juga bekerja paruh waktu di warung makan sebgai tukang bersih-bersih dan pelayan demi mengumpulkan uang untuk ke perguruan tinggi. Namun semuanya sirna. Anak laki-laki satu-satunya yang menjadi kesayangan nenek terlibat utang judi dan hampir mati dipukuli.

Ibu yang satu tahun lebih tua dari mendiang paman pun terpaksa merelakan semuanya. Bahkan rela menikah dengan Ayah yang menjajikan mahar besar untuk melunasi hutang paman. Meski selamat dari preman penagih hutang, Beliau kembali ke jalan itu dan meninggal dalam keadaan sakau.

Ibu segera menyimpan foto itu di saku blazernya. Mengeluarkan koper-koper yang sudah berjejer rapi di sudut ruangan. Koper besar untuk keperluan bisnis dan koper kecil untuk barang-barang pribadi. Berlian memperhatikan bagaimana Ibu dengan sengaja membuang cincin kimpoi dari jendela.

“Ibu tidak menghbungi Tiara? Tanyanya saat mereka berdiri di depan pintu.

Ibu menoleh dan menatap Berlian. “Saat berkunjung ke sana, Ibu sudah menyelipkan nomor baru ibu di bawah lampu tidur di kamarnya. Kalau dia mau … dia tahu harus bagaimana.”

Di bandara, sambil menunggu boarding call, Ibu mengeluarkan dompetnya dan melihat foto Berlian dan Tiara saat masih kecil. Untuk sesaat, jemarinya bergetar. Kemudian, dengan napas panjang, ia mengeluarkan foto itu dan pemantik korek api.

Api menyala singkat di tangannya sebelum ia menjatuhkan foto yang terbakar ke tempat sampah yangt terbuat dari besi itu. “Sudah cukup,” bisiknya, mengangkat koper dan berjalan menuju gerbang keberangkatan tanpa sekali pun menoleh kembali.

—-

Tahun-tahun berlalu setelah Ibu pergi.

Tiara, yang dulu selalu membela Ayah, kini berdiri di depan cermin apartemen mewahnya, memandangi wajahnya yang mulai menampakkan garis-garis halus – persis seperti yang dulu dimiliki Ibu. Di tangannya, ponsel berdering – telepon dari sekolah anak pertama yang ketiga kalinya dalam seminggu ini.

“Bu Rina, Andi berantem lagi di sekolah. Katanya dia meniru omongan Ayahnya ke pembantu ….”

Tiba-tiba terdengar suara Hendra dari belakang yang menggelegar. “Dasar kurang ajar! Nanti aku yang urus!”

Direbutnya ponsel itu. Setelah mengucapkan beberapa kata, ia langsung mematikan dan menyerahkan kembali pada Tiara. Membuatnya teringat kalimat yang sama yang pernah diucapkan Ayahnya dulu.

Keesokan paginya, ia segera datang mengunjungi sang Ayah di rumah sakit – kanker hati stadium akhir akibat minuman keras. Tiara membawa kotak tua yang ditemukan di bawah tempat tidurnya saat membereskan kamar Ayah. Di dalamnya ada surat-surat cinta Ayah untuk wanita lain, bon hotel, dan – yang membuatnya tersedak – foto-foto dirinya kecil dengan Ibu yang telah disobek separuh, menyisakan wajah Ayah dan dirinya.

“Ayah kenapa?”

Ayah yang sudah kurus kering hanya memalingkan wajah. “Dia memang tidak pernah pantas menjadi istri.”

Sepulang dari sana. Rina langsung membuka laci tersembunyi di ruang kerja Hendra – sesuatu yang tidak pernah berani dilakukannya selama ini. Isinya pun membuat darahnya membeku.

‘Foto selfi dengan sekretari kantor’, ‘tagihan apartemen bulanan di kawasan elit’, ‘resep obat kuat’.

Semua itu, persis dengan apa yang dulu ditemukan Ibu.

Suasana pemakaman tampak sepi, hanya segelintir orang yang hadir. Tiara memandang nisan sang Ayah dengan pedih. Ia tadi mencari wajah Ibu di antara kerumunan, meski tahu itu hanya harapan kosong.

Ketika pulang dari pemakaman, anak pertamanya bertanya dengan polos, “Ibu, nenekku yang baik itu kapan datang lagi? Yang dulu suka bawa oleh-oleh dari luar negeri.”

Tiara tak bisa menjawab. Ia juga sudah mencoba untuk menghubungi nomor yang ibu tinggali, tapi selalu masuk voicemail. 

Akhirnya dia menyerah dan masuk ke kamar. Mengambil album dan membukanya untuk mengenang. Saat membolak-balik album lama itu, ia baru sadar. Tidak ada satu pun foto di mana ibu terlihat benar-benar bahagia.

Tiara tak pernah menyerah, bahkan ia membuka blokiran Berlian di ponselnya. Menanyakan di mana Ibu dan bagaimana kondisinya.

Namun Berlian hanya mengatakan alamat dengan ketus dan langsung mematikan ponselnya. Ia tahu, sang kakak sudah larut dibuat kecewa olehnya.

Tiara segera pergi ke apartemen di dekat pelabuhan. Tapi yang ia dapat hanya apartemen kosong dengan semacam monumen kecil di sudut ruang.

Sebuah koper tua penuh stiker bandara, dan di atasnya – foto ibu muda tersenyum di depan Menara Eiffel bertuliskan “Akhirnya Merdeka” dengan tanggal yang sama dengan kematian Ayah.

Di balik foto itu, tulisan tipis :

“Untuk Tiara … aku menunggumu sampai siap. Namun takdir tak bisa lagi kuhentikan.”

Surat itu membuatnya sadar, bahwa selama ini Ibu tak pernah membencinya. Ibu hanya lelah, karena terlalu sering ditolak untuk dicintai. Namu, Tiara masih tak percaya, jika Ibu benar-benar meninggalkan dunia ini. Ia berusaha mencari bukti keberadaan Ibu. 

Tiba-tiba, sebuah map coklat terjatuh dari atas lemari. Di dalamnya ada catatan kesehatan Ibu. Yang ternyata sudah lama mengidap magh kronis. Ada pula beberapa catatan komplikasi penyakit akut.

“Hahaha!”

Air matanya turun tak berhenti. Tiara luruh di lantai apartemen kosong. Dirinya barus sadar bahwa Ibu tidak pergi karena benci, ta

(TAMAT)

Quote:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *