
Di sebuah desa kecil yang dikelilingi sawah dan hutan pinus, tinggal seorang pria paruh baya bernama Pak Darto. Ia hidup sendiri di rumah kayu sederhana peninggalan orang tuanya. Setiap hari, ia pergi ke kebun, menanam sayur, dan sesekali memperbaiki sepatu warga desa dengan alat-alat tuanya. Tak banyak yang tahu bahwa sebelum menetap di desa, Pak Darto adalah seorang pelari maraton nasional pada zamannya.
Lemari kayu di pojok kamarnya menjadi saksi bisu masa lalu yang tak banyak diceritakannya. Di dalamnya, tergantung rapi medali-medali emas dan perak, kaos lusuh bertuliskan “Jakarta Marathon 1996”, serta sepasang sepatu lari tua berwarna putih yang kini menguning dimakan waktu.
Dulu, Pak Darto adalah harapan bangsa. Ia berlari bukan hanya dengan kaki, tapi dengan semangat. Ia selalu bilang, “Setiap langkah adalah mimpi yang harus dikejar sampai garis akhir.” Namun mimpinya kandas saat sebuah kecelakaan motor merenggut kelincahan kakinya. Ia selamat, tapi kaki kirinya tak pernah pulih sepenuhnya.
Sejak saat itu, ia menghilang dari dunia atletik dan memilih kembali ke desa. Ia membangun hidup baru, menjauh dari sorotan, dan menutup lembaran masa lalu. Tapi sesungguhnya, ia tak pernah berhenti berlari—hanya saja bukan lagi di lintasan, melainkan dalam pikirannya, setiap malam.
Sampai suatu hari, datang seorang anak laki-laki bernama Rio, cucu dari tetangga sebelah. Usianya baru sepuluh tahun, namun memiliki minat luar biasa pada dunia lari. Setiap pagi, Rio berlari keliling sawah, meski hanya memakai sandal jepit.
Pak Darto sering melihatnya dari jauh. Diam-diam ia teringat masa mudanya—panas matahari, napas yang memburu, suara sepatu menghantam aspal. Suatu pagi, ia menghampiri Rio yang sedang duduk kelelahan di bawah pohon jambu.
“Kamu suka lari, Nak?” tanya Pak Darto.
Rio mengangguk, “Iya, Pak. Aku pengin ikut lomba lari di kota. Tapi aku nggak punya sepatu yang bagus.”
Pak Darto diam sejenak. “Lari itu bukan soal sepatu. Tapi soal hati yang nggak nyerah. Tapi… kalau kamu niat, besok pagi datang ke rumah Bapak.”
Keesokan harinya, Rio datang dengan wajah penuh harap. Di ruang tamu, Pak Darto membuka lemarinya yang lama terkunci. Ia keluarkan sepatu putih tuanya, membersihkannya dengan hati-hati, dan memberikannya pada Rio.
“Ini sepatu lama Bapak. Mungkin udah nggak sehebat dulu, tapi masih kuat untuk membawa kamu ke garis akhir.”
Rio menerima sepatu itu dengan mata berbinar. Sejak hari itu, Pak Darto mulai melatihnya. Ia ajarkan teknik pernapasan, ritme langkah, hingga bagaimana mengatasi rasa lelah dan ingin menyerah. Rumah kayunya berubah jadi tempat latihan kecil, dengan lintasan yang dibuat dari jalanan tanah di samping kebun.
Tiga bulan berlalu. Rio mengikuti lomba lari tingkat kabupaten. Meski melawan anak-anak yang jauh lebih besar dan memakai sepatu modern, Rio berlari sekuat hati. Di pinggir lintasan, Pak Darto berdiri dengan tongkatnya, tersenyum melihat bocah kecil itu berlari dengan semangat yang dulu pernah ia punya.
Rio tidak menang juara satu. Tapi ia berhasil masuk tiga besar, dan yang lebih penting, ia menemukan bahwa impian bukan milik orang kota atau anak kaya—tapi milik siapa saja yang mau berlari mengejarnya.
Hari itu, saat pulang, Rio memberikan medalinya pada Pak Darto.
“Ini buat Bapak. Karena tanpa Bapak, saya nggak akan sampai sini.”
Pak Darto tak berkata apa-apa. Ia hanya menatap sepatu putih tua yang kini kembali bernyawa. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia merasa hidup kembali. Ia tahu, mimpi tidak pernah benar-benar mati—kadang, ia hanya menunggu kaki baru untuk mengejarnya.
—