
Di tengah gegap gempita pesta demokrasi yang rutin dirayakan lima tahun sekali melalui pemilu, muncul pertanyaan mendasar yang jarang disuarakan secara terbuka: apakah kita sungguh-sungguh hidup dalam sistem demokrasi yang berpihak pada rakyat? Atau justru menjalani demokrasi yang dikendalikan oleh elite politik, tampak megah di permukaan namun kosong secara substansi?
Tulisan ini merupakan refleksi atas berbagai keresahan publik yang semakin nyata terhadap arah perjalanan demokrasi kita. Bukan sekadar gugatan teoretis, tapi juga pengamatan atas gejala sehari-hari yang dirasakan oleh banyak warga negara. Demokrasi yang konon berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat kini tampak semakin erat dengan elite politik dan kekuatan ekonomi besar.
Demokrasi atau Ilusi?
Gambar ini menyimbolkan bagaimana kehidupan demokratis warga terhubung dengan ekosistem digital yang kompleks. Dalam konteks pemilu dan partisipasi publik, algoritma media sosial dan kekuatan modal sering kali membentuk opini masyarakat secara tersembunyi. Ilustrasi ini menampilkan ketegangan antara kebebasan berekspresi dan kendali sistemik dalam demokrasi era digital.
Secara normatif, demokrasi menjamin hak pilih, partisipasi publik, dan kebebasan berpendapat. Namun dalam praktiknya, ruang partisipasi rakyat untuk benar-benar memengaruhi arah kebijakan terasa semakin terbatas.
Sheldon Wolin, filsuf politik asal Amerika Serikat, menyebut kondisi seperti ini sebagai inverted totalitarianism yakni sistem politik yang tetap menyandang atribut demokrasi namun dijalankan oleh kekuatan elite ekonomi dan politik secara tersembunyi. Dalam bukunya Democracy Incorporated (2008), ia menulis bahwa warga negara secara perlahan bergeser dari agen aktif menjadi subjek pasif.
“Ekonomi menguasai politik. Dan warga negara berubah dari agen aktif menjadi subjek pasif,” tulis Wolin dalam bukunya Democracy Incorporated (2008).
Kritik ini semakin relevan saat kita menyaksikan bagaimana kebijakan-kebijakan besar seperti proyek infrastruktur strategis atau kebijakan energi sering kali lebih mencerminkan kepentingan pemodal besar daripada kebutuhan riil masyarakat.
Pemilu sebagai Ritual Demokrasi
kampanye publik. Seorang kandidat tampak memberi salam kepada penonton, sementara di balik layar, tampak siluet elite yang menyusun strategi politik. Visual ini merefleksikan ketegangan antara citra demokrasi yang tampil di muka dan dinamika kekuasaan yang bekerja di balik panggung.
Colin Crouch, seorang sosiolog politik, mengemukakan konsep post-democracy untuk menggambarkan sistem di mana prosedur demokrasi tetap berjalan, namun substansi kekuasaan dikendalikan oleh kekuatan yang tidak terjangkau publik seperti korporasi, konsultan politik, dan media besar.
Di Indonesia, fenomena ini dapat diamati saat musim pemilu tiba. Masyarakat disuguhi janji-janji kampanye, tetapi calon-calon yang tampil seringkali merupakan hasil kompromi antara partai dan sponsor modal. Akibatnya, partisipasi rakyat hanya berhenti di bilik suara. Setelahnya, keputusan strategis lebih banyak ditentukan di ruang tertutup ketimbang forum publik.
Demokrasi yang Semakin Performatif
Ilustrasi simbolik yang menggambarkan individu yang terhubung ke berbagai elemen digital seperti media sosial, polling, dan opini publik. Gambar ini merefleksikan bagaimana partisipasi politik dalam era digital sering kali dipengaruhi oleh sistem algoritmik dan kekuatan komersial yang tak terlihat. Visual ini tidak mewakili tokoh atau institusi tertentu dan digunakan untuk keperluan editorial.
Judith Butler mengajukan konsep performativitas yakni bahwa sesuatu bisa tampak nyata karena terus-menerus dipentaskan. Dalam konteks politik, pemilu dan debat publik bisa menjadi ritual formal belaka yang mempertahankan ilusi demokrasi.
Fenomena buzzer, survei palsu, hingga framing media turut memperkuat kesan bahwa demokrasi telah berubah menjadi pertunjukan panggung. Rakyat lebih banyak ditempatkan sebagai penonton dibandingkan sebagai pelaku politik yang berdaya.
Pengelolaan Kehidupan oleh Negara
Michel Foucault memperkenalkan konsep biopolitik yaitu cara negara modern mengatur kehidupan rakyat melalui mekanisme halus seperti kebijakan kesehatan, pendidikan, moral, dan kerja.
Di Indonesia, gejala ini muncul dalam bagaimana wacana publik dikontrol misalnya melalui penetapan isu strategis, penyesuaian narasi kebijakan, serta pembatasan terhadap suara-suara alternatif dengan dalih stabilitas nasional.
Alih-alih menjamin kebebasan, demokrasi dalam bentuk seperti ini cenderung menjadi alat penertiban sosial.
Demokrasi dalam Cengkeraman Algoritma dan Modal
Tantangan demokrasi saat ini juga datang dari ranah digital. Algoritma media sosial tidak sepenuhnya netral karena dirancang untuk mengutamakan konten yang menguntungkan secara komersial maupun politis.
Shoshana Zuboff dalam The Age of Surveillance Capitalism (2019) menjelaskan bagaimana data pribadi digunakan untuk memengaruhi preferensi politik masyarakat. Kampanye digital kemudian tidak lagi menekankan pada adu gagasan, tetapi pada manipulasi psikologis melalui desain algoritmik.
Partisipasi yang Tak Bermakna
Masyarakat seringkali didorong untuk berpartisipasi namun tidak benar-benar dilibatkan secara substantif. Kajian psikologi politik oleh Daniel Kahneman dan Cass Sunstein menunjukkan bahwa publik mudah terjebak dalam bias informasi dan persepsi semu, yang memperbesar risiko manipulasi dalam sistem demokrasi elektoral.
Tanpa literasi yang kuat dan akses terhadap informasi berkualitas, demokrasi hanya akan menjadi simbol tanpa substansi.
Saatnya Refleksi Demokrasi
Kita perlu meninjau ulang demokrasi seperti apa yang kita dambakan. Bukan sekadar sistem pemilu lima tahunan, tapi ruang hidup politik yang sungguh-sungguh menghormati suara rakyat, menjamin keadilan sosial, dan bebas dari dominasi kekuatan ekonomi yang tidak terpilih.
Mungkin sudah waktunya untuk kembali bertanya
Demokrasi ini, sebenarnya untuk siapa, oleh siapa, dan dikendalikan oleh apa?
Jika Anda percaya bahwa demokrasi bukan hanya soal memilih tetapi juga tentang memiliki suara sepanjang waktu, mari terus kritis dan terlibat. Karena demokrasi yang sejati tidak hanya dijalankan, tetapi juga diperjuangkan setiap hari.
Oleh: Imam Sahroni Darmawan, S.T