Viral! Aksi Bullying Remaja Putri di Hutan Maliran Blitar, Polisi Turun Tangan

Viral! Aksi Bullying Remaja Putri di Hutan Maliran Blitar, Polisi Turun Tangan
Kasus bullying remaja kembali mencuat di Blitar dan menyita perhatian publik. Kali ini, aksi perundungan terjadi di kawasan Hutan Maliran, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar. Pelakunya adalah sekelompok remaja putri, sementara korbannya juga merupakan seorang remaja putri.

Video kejadian tersebut viral di media sosial dan memicu kemarahan warganet. Dalam rekaman video, terlihat korban mengalami kekerasan fisik dan verbal. Ia menangis saat mendapat perlakuan kasar, namun pelaku justru tertawa dan terus meneriakinya dengan kata-kata menyakitkan.

Salah satu pelaku bahkan terdengar berkata, “Jangankan kamu jambak, kamu pukul atau tampar aku ikhlas,” menandakan tidak adanya rasa empati dalam tindakan mereka.

Kasus bullying ini kini tengah ditangani oleh Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Blitar Kota. Pihak kepolisian mengonfirmasi bahwa laporan dari orang tua korban telah diterima pada Rabu malam, 24 April 2025, sekitar pukul 20.00 WIB.

“Perkara dugaan kekerasan terhadap anak atau bullying di Hutan Maliran Ponggok Kabupaten Blitar baru dilaporkan oleh pihak keluarga korban pada tanggal 24 April 2025,” jelas AKP Sukamto, Kasat Reskrim Polres Blitar Kota, Jumat (25/4/2025).

Satreskrim Polres Blitar Kota langsung bergerak cepat dengan memanggil sejumlah pihak terkait. Tiga orang remaja putri yang diduga sebagai pelaku dalam video tersebut juga telah dipanggil untuk dimintai keterangan.

“Kami akan melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap tiga orang yang diduga sebagai pelaku, serta memeriksa saksi-saksi yang berada di lokasi kejadian,” tegas AKP Sukamto.

Pihak kepolisian juga mengimbau masyarakat, khususnya para orang tua dan guru, untuk lebih peka terhadap pergaulan remaja agar kasus serupa tidak kembali terjadi.

INFO LENGKAPNYA DI SINI

Raksasa Drone DJI Terjun Ke Bisnis Kamera, Menantang Sony, Nikon, Canon

DJI Mirrorless Camera 2025: When DJI’s drone empire with Hasselblad DNA challenges Sony, Canon and Nikon
Jan Macarol
~4 minutes
[hr]
DJI, the king of drones and stabilization, is expected to launch its first mirrorless camera – the DJI Mirrorless Camera – by the end of 2025. Rumors point to a full-frame sensor, built-in stabilization and a modern design – all spiced up with the genetic code of the prestigious Hasselblad. If the promises come true, it could collapse the long-standing dominance of Sony, Canon and Nikon.
DJIMirrorless camera: has a new player been born at the top of the photo elite? DJI is synonymous with the sky, gimbals, and shake-free video production. But now – if all the insider whispers are to be believed – the company is preparing to leap onto the most competitive, almost biblical stage of technology: mirrorless cameras. And not just any mirrorless camera. Full-frame. Stabilized. Modular. Professional.
Don’t let the past fool you. DJI is not an outside observer in this field. Theirs Ronin 4D it is already now lover of cinematographers, Osmo Pocket reigns supreme among vloggers, and – most importantly – they own a Hasselblad. The Swedish Rolls-Royce of cameras. If that doesn’t call for serious first-league gaming, then we don’t know what does.

What can we expect from the DJI Mirrorless Camera 2025?
Raksasa Drone DJI Terjun Ke Bisnis Kamera, Menantang Sony, Nikon, Canon
Photo: Jan Macarol / Ai art
According to current rumors, DJI’s mirrorless camera will bring:
Full-frame sensor, most likely developed in collaboration with Hasselblad or even from their workshop
Built-in 4D stabilization at the level of Ronin
Modular design – for studio, field, or YouTube setup
Advanced connectivity, maybe even with cloud storage and wireless transfer
Simple and transparent user interface, inspired by minimalist Scandinavian philosophy
4k / 120FPS, as standard in the camera class around 2,500 euros.

DJI could offer an experience that combines the best of the world of professional photography and modern usability. A camera that is not just a tool, but a complete system for creators.
Why would this work?
In an industry dominated by Canon and Sony with decades of development behind them, DJI enters with the DJI Mirrorless Camera 2025 as an unconventional but dangerously capable newcomer. Their success with products like the Mavic, Ronin, and Pocket demonstrates a deep understanding of the needs of modern creators – especially those who want quality without the complexity.

Raksasa Drone DJI Terjun Ke Bisnis Kamera, Menantang Sony, Nikon, Canon

Photo: Jan Macarol / Ai Art

And let’s not forget – unlike most Chinese brands, DJI doesn’t buy technology – they develop it. From sensors, to image processing, to AI features. With access to Hasselblad’s heritage in color science and optics, they can create something completely new with the DJI Mirrorless Camera.

What about Huawei?
Although there have been rumors of a possible collaboration with Huawei, that part of the story remains in the background. The main star here is DJI itself, with strong supporting player Hasselblad. Huawei could contribute to AI and connectivity, but the focus remains on the combination of DJI’s experience and Hasselblad’s prestige.

Final impression

If DJI is indeed on the verge of launching its first mirrorless camera, then it could be one of the most exciting breakthroughs in modern photography. This is no longer just a “drone industry player” – this is a potential disruptor that could redefine what it means to own a professional camera in 2025.
For anyone looking for something fresh in the world of full-frame cameras – next year will be interesting.

https://citymagazine.si/en/dji-mirro…non-and-nikon/


makin perkasa aja DJIemoticon-Malu

Antara Cinta dan Dompet: Kenapa Orang Memilih Mengakhiri Hidupnya?

Oleh : Naufal Muhazzib

Antara Cinta dan Dompet: Kenapa Orang Memilih Mengakhiri Hidupnya?

Lo pernah nggak sih denger berita tentang seseorang yang mengakhiri hidupnya karena patah hati atau karena lilitan utang? Tragis banget ya. Tapi kenyataannya, kejadian kayak gini tuh sering banget kita temuin di sekitar kita. Pertanyaannya, sebenernya apa sih yang bikin seseorang sampai nekat bunuh diri? Apakah karena masalah cinta yang rumit, atau tekanan ekonomi yang nggak ada habisnya?

Nah, di artikel ini kita bakal ngobrol santai tapi serius tentang dua faktor utama yang sering dikaitkan dengan bunuh diri: cinta dan ekonomi. Kita bakal kupas dari berbagai sisi, lengkap dengan fakta, opini, dan sedikit bumbu curhat biar lebih relate. Jadi, siap-siap aja mikir dalam, tapi tetap santai ya!

Bagian 1: Bunuh Diri Itu Bukan Cuma Soal Lemah Mental

Sebelum kita masuk ke dua faktor tadi, kita harus lurusin dulu satu hal penting: bunuh diri itu bukan cuma karena orangnya lemah mental. Banyak faktor kompleks yang bisa mempengaruhi keputusan seseorang. Bisa dari tekanan batin, gangguan kesehatan mental, trauma masa lalu, sampai lingkungan yang toxic.

Kadang, orang yang terlihat ceria pun bisa nyimpen luka dalam yang nggak kelihatan. Jadi, jangan buru-buru nge-judge ya. Karena di balik senyum, bisa aja ada tangisan yang nggak pernah denger suara.

Bagian 2: Cinta, Si Manis yang Bisa Jadi Racun

Cinta emang indah, tapi juga bisa jadi alasan utama kenapa orang merasa hidupnya hancur. Apalagi kalau cinta itu berakhir dengan pengkhianatan, penolakan, atau kehilangan orang yang sangat dicintai.

1. Patah Hati dan Depresi

Patah hati bisa bikin orang jatuh ke dalam jurang depresi. Apalagi kalau hubungan itu udah jadi pusat dari hidup seseorang. Ketika hubungan itu runtuh, dia merasa nggak punya alasan lagi buat hidup.

2. Obsesi yang Merusak

Kadang, cinta berubah jadi obsesi. Orang rela ngelakuin apapun demi mempertahankan orang yang dicintai, termasuk menyakiti diri sendiri kalau cintanya nggak dibales.

3. Kesepian Setelah Ditinggal

Kehilangan pasangan karena kematian atau putus bisa nyisain luka yang dalam banget. Rasa kesepian itu bisa berubah jadi keputusasaan. Dan dalam kondisi itu, orang bisa nekat ambil jalan pintas.

Bagian 3: Ekonomi, Si Penjepit Leher yang Sering Diremehkan

Masalah ekonomi juga nggak kalah seremnya. Utang menumpuk, kehilangan pekerjaan, nggak bisa memenuhi kebutuhan keluarga—semua itu bisa bikin orang merasa gagal total.

1. Tekanan Hidup yang Berat

Hidup di zaman sekarang tuh keras banget. Harga kebutuhan naik, kerja susah, gaji minim. Orang-orang yang merasa nggak bisa survive kadang mulai mikir, “Ngapain hidup kalo tiap hari cuma berjuang buat makan?”

2. Tanggung Jawab yang Menghimpit

Buat kepala keluarga, rasa tanggung jawab yang besar bisa jadi beban berat. Ketika mereka merasa nggak bisa lagi ngasih makan anak istri, rasa malu dan bersalah bisa berubah jadi keputusan tragis.

3. Lingkungan yang Nggak Support

Kadang, bukannya dapat dukungan, orang yang sedang kesulitan ekonomi malah dapat tekanan sosial. Dihina, dibanding-bandingin, dijauhi. Ini semua makin memperparah keadaan mental mereka.

Bagian 4: Mana yang Lebih Dominan, Cinta atau Ekonomi?

Jadi sebenernya, mana sih yang lebih sering jadi alasan? Cinta atau ekonomi?

Jawabannya: dua-duanya bisa sama-sama mematikan.

Menurut data dari WHO dan berbagai studi psikologi, dua hal ini memang termasuk faktor utama yang memicu tindakan bunuh diri. Tapi biasanya, keputusan itu nggak muncul cuma karena satu faktor. Seringkali, itu hasil dari kombinasi berbagai masalah yang menumpuk.

Contoh: Orang yang baru putus cinta dan juga lagi bangkrut secara finansial. Atau seseorang yang kehilangan pekerjaan, lalu ditinggal pasangan karena dianggap nggak mapan. Semua itu saling berhubungan dan bikin kondisi mental makin nggak stabil.

Bagian 5: Pentingnya Dukungan dan Edukasi Mental

Nah, daripada saling menyalahkan atau nge-judge, yang lebih penting adalah dukungan dan edukasi.

Buka ruang bicara buat teman atau keluarga yang terlihat sedang down.

Jangan remehkan masalah orang lain, meski buat kita itu kelihatan sepele.

Edukasi tentang kesehatan mental harus lebih masif. Biar orang ngerti bahwa minta tolong itu bukan tanda kelemahan.

Kalau kamu sendiri lagi ngerasa berat, cari bantuan profesional. Psikolog, konselor, atau bahkan curhat ke teman baik bisa jadi langkah awal penyelamatan.

Bagian 6: Kisah Nyata dan Refleksi

Biar makin nyata, mari kita lihat contoh beberapa kisah yang pernah viral:

Seorang mahasiswa gantung diri setelah diputus pacar dan dikeluarkan dari kampus. Orang tuanya kaget karena dia selama ini terlihat baik-baik saja.

Ayah tiga anak nekat lompat dari jembatan karena terlilit utang pinjol. Istrinya bilang, dia sering ngeluh soal tekanan hidup tapi nggak pernah mau terbuka.

Kedua kisah itu nyata dan menyedihkan. Tapi dari situ kita bisa belajar bahwa kita nggak pernah benar-benar tahu apa yang orang lain alami. So, be kind. Selalu.

Kesimpulan: Hidup Emang Berat, Tapi Bunuh Diri Bukan Jawaban

Hidup itu nggak selalu manis, dan kadang kenyataannya pahit banget. Tapi percayalah, selalu ada jalan keluar dari setiap masalah. Baik itu cinta yang gagal atau ekonomi yang remuk redam.

Ngobrol sama orang yang lo percaya, cari bantuan, jangan malu buat bilang lo butuh bantuan. Karena lo nggak sendiri. Dan lo pantas buat bahagia.

Ingat: Jangan pernah malu untuk hidup. Tapi jangan juga malu untuk bilang lo lagi kesusahan. Karena kita manusia. Dan manusia itu saling butuh.

Referensi:

World Health Organization (WHO). (2023). Suicide worldwide in 2023: Global Health Estimates. Retrieved from https://www.who.int/

American Psychological Association. (2022). Understanding Suicide: Risk Factors, Warning Signs, and Prevention. Retrieved from https://www.apa.org/

Komnas HAM & Kemenkes RI. (2021). Laporan Tahunan: Kesehatan Mental di Indonesia.

Tempo.co. (2023). “Faktor Ekonomi Picu Aksi Bunuh Diri di Berbagai Daerah.”

CNN Indonesia. (2023). “Putus Cinta Jadi Pemicu Bunuh Diri, Psikolog: Harus Ada Dukungan Sosial.”

Tirto.id. (2022). “Bunuh Diri dan Stigma: Ketika Dunia Tak Ramah Pada Penderita.”

Pusat Data dan Informasi Kesehatan Kemenkes. (2023). Profil Kesehatan Mental Remaja Indonesia.

Tentang Berpikir

Ada benarnya, tidak semua hal perlu dibalas. Dan tidak semua hal pula perlu dibahas. Tapi semua hal patut dipikirkan, direnungkan. Karena pikiran manusia adalah sesuatu yang aktif, dinamis, dan senantiasa bergerak. Otak manusia tidak statis, bahkan ia tidak pernah benar-benar diam. Pikiran sifatnya begitu alami. Manusia tidak bisa pernash bisa berada dalam keadaan netral terlalu lama. Tidak bisa diam melulu. Karena jika tidak mengisi pikirannya dengan hal-hal yang baik, maka dia tidak sedang tumbuh. Pikiran selalu mengajak untuk memperbaiki diri, mencari ilmu, merefleksi diri, atau berbuat kebaikan.

 

Maka tanpa sadar, bila pikiran manusia itu diam. Pasti isi kepalanya, mulai terisi oleh hal-hal yang melemahkan; kemalasan, prasangka, atau kekosongan makna.

 

Seorang penulis novel epistolary asal Inggris, Samuel Richardson telah mengingatkan. Untuk mengajak kita selalu sadar bahwa dalam kehidupan, stagnasi adalah ilusi. Pikiran harus terus bergerak sebagai tanda sedang tumbuh. Seperti membaca sebagai tanda sedang berpikir, seperti menulis sebagai tanda masih hidup. Diam di tempat bukan berarti kita tetap sama; sering kali kita justru mundur secara perlahan.

 

Itulah mengapa pertumbuhan, baik secara intelektual maupun spiritual, harus menjadi proses sadar, sesuatu yang dikerjakan terus-menerus. Harusada kesengajaan dalam berpikir, harus ada kesungguhan dalam bertindak. Jangan ada yang ditunda, karena menunda perbaikan diri hari ini berarti memberi ruang bagi keburukan untuk tumbuh besok. Dengan memahami bahwa pikiran tidak pernah berhenti, maka kita terdorong untuk lebih waspada, lebih hati-hati. Tentang apa yang sedang kita isi ke dalamnya hari ini? Tentang apa yang kita pikirkan hari ini? Karena pada akhirnya, siapa kita di masa depan adalah akumulasi dari arah pikiran hari ini. Kita adalah pertumbuhan yang kita pilih setiap hari, mau sadar atau tidak. Begitulah adanya.

 

Ketika berpikir, kita semakin paham. Bahwa manusia itu beda-beda. Beruntungnya beda, sedihnya beda. Masalahnya beda, cobaannya pun beda. Tidak ada yang berat tidak ada yang ringan karena apapaun yang kita alami sudah sesuai dengan porsi pundaknya masing-masing, sesuai pada takdirnya masing-masing. Ada yang sudah berhasil, ada yang sedang menunggu hasil. Jadi, kenapa harus bersedih kelamaan?

 

Adalah wajar dalam hidup, terkadang ada yang menemukan hal buruk di tempat yang baik. Sebaliknya, ada yang menemukan hal baik di tempat yang buruk. Bila itu terjadi, maka kita diminta untuk berpikir. Agar selalu bersikap realistis. Karena tidak semua harapan sesuai dengan kenyataan. Berpikirlah selalu untuk memperbaiki saja niat, membaguskan ikhtiar, dan memperbanyak doa. Selebihnya serahkan segalanya kepada Alah SWT. Salam literasi!

Tentang Berpikir

Tentang berpikir

Cerpen : Ibu Terbakar Di Album Kami (1)

“Kalau kau cerai ibu akan mati!”

Ibu yang melihat sang Nenek menekan pisau ke lehernya langsung terduduk lemas. Ia tak mengerti kenapa. Nenek adalah orang yang melahirkannya dulu. Seharusnya melihat putri satu-satunya dipukuli suami, bukankah harusnya Nenek membela.

“Apa nama baik sepenting itu?” tanyanya lirih.

Namun pada akhirnya ia menyerah. Memilih langkah terakhir berbakti pada Nenek dan berusaha mempertahankan rumah tangganya. Meski ia tersiksa.

“Baiklah, aku tidak akan bicara lagi. Istirahatlah, bu.”

Ia segera bangkit dan pergi meninggalkan rumah orang tuanya dan kembali menghadapi amukan sang suami. Awalnya,  Ibu mencoba bertahan dengan suami tukang selingkuh dan penghasilan yang kadang sampai ke rumah hanya sepersepuluhnya saja. Hal ini, memaksanya untuk memutar otak dan diam-diam menitipkan jajanan pasar ke warung-warung.

Ibu menarik napas perlahan dan memasuki rumah, namun tubuhnya langsung diterjang. Ia terjatuh ke lantai kayu yang penuh goresan benda tajam. Kekerasan itu berlangsung sejak Samudra dipecat dari tempat kerja karena tertuduh korupsi. Suaminya itu mungkin masih memegang beberapa bukti, sehingga tidak dijebloskan ke penjara dan hanya sekedar pemecatan.

“Kau benar-benar benalu tak berguna! Lihat apa yang kau buat itu?! Semuanya cuma buang-buang duit! Itu yang kau tau hah?!”

‘Plak!’

Ibu melihat ke arah meja makan. Ia sengaja menumpang membeli sepotong paha ayam. Namun bukan untuk dirinya, tapi untuk Ayah. Sedangkan untuk putrinya Berlian dan dirinya, hanya sekedar sayur bening dengan nasi sisa kemarin.

Meja makan itu kini berantakan. Semua piring dan gelas pecah. Meja pun terbalik. Ia benar-benar tak mengerti. Kemarin ia mencoba berhemat dan hanya menggunakan sayur bening tanpa lauk. Suaminya mengamuk. Untung saja jatahnya dan Berlian selalu disimpan dalam rantang dibawah tempat cuci piring.

Ayah menarik napas. Ia mengambil botol bir baru dan menegaknya. Kemudian pergi dari sana.

“Bu?” Seorang anak berusia lima tahun berjalan mendekat.

“Tidak apa-apa. Ukh!”

“Ibu berdarah?!” teriaknya.

Ibu hampir lupa bahwa ia sedang mengandung sepuluh bulan saat ini.

“Panggilkan para bibi dan paman untuk membantu!”

Berlian mengangguk dan segera melangkah ke rumah tetangga sekitar.

Ibu memegang perutnya. Berharap sang bayi tetap bertahan. Meski sang ayah tidak menginginkannya dan beberapakali mencoba menyakiti dan mencekokinya dengan alkohol.

Dua tahun berlalu.

Uang tabungan dari hasil menitipkan jajanan diwarung sudah habis. Semenjak sang suami dipecat, Ibu tak bisa lagi membuat jajanan pasar dan menitipkannya. Kalau tidak dia akan mengamuk karena menurutnya apa yang dilakukan sang istri hanya mencoreng nama dan membuat malu.

Untungnya sang sahabat Lili menawarkan pekerjaan. Tepatnya kerja sama bisnis. Ia tahu Ibu sangat cerdas dan cepat beradaptasi,

“Makasih ya, Li.”

“Ck! Seperti sama siapa aja. Sudah! Lusa kujemput!”

“Bu?”

“Berlian?”

“Apa ibu akan pergi?”

“Iya, tapi ibu pasti kembali. Ibu hanya bekerja. Seperti ayahmu dulu.”

Berlian terdiam. Di satu sisi ia bahagia bahwa sang ibu tidak meninggalkannya dan sang adik. Di sisi lain, ia ingin sang ibu bebas. Ia tak ingin melihat ibu dipukuli dan diremehkan lagi. Apalagi dirinya sering melihat ayah merayu janda yang ada di kompleks sebelah saat pulang jalan kaki.

Awalnya dia tak mengerti. Tapi para bibi tetangga yang suka bergosip memberitahunya. Bahwa ayah selingkuh. Bahkan banyak yang mencerca ibu.

Sebenarnya saat nenek mengancam untuk mati. Ia ada di sana dan mengintip. Bersembunyi dan menyaksikan bagaimana ibu tak berdaya dibawah ancaman nenek. 

“Ibu masih ingin menyaksikan Berlian dan Tiara tumbuh besar dan menjadi perempuan dewasa yang mandiri. Ibu tak ingin apa yang dialami ibu saat ini, dialami oleh Berlian. Ibu akan menjadi pendukung terbesar untuk kalian berdua.”

“Makasih, Bu.”

Sore itu, setelah Diana membicarakan tentang itu. Ayah mengamuk. Ia membanting meja makan dan menumpahkan lauk dan sayur. Untung saja semua gelas, piring dan mangkuk sudah diganti dengan plastik yang tampak seperti keramik dan kaca.

“Jadi kau pikir bisa seenaknya pergi? Tinggalkan aku? Tinggalkan anak-anak?!” teriaknya dengan wajah memerah. Tangannya mencengkram botol kosong dan siap menghatam.

Berlian yang saat itu berusia tujuh tahun, hanya bisa memeluk dan menutupi mata adiknya yang masih belita. “Jangan lihat, Rara,” bisiknya, suaranya terdengar getir. Namun Rina melihat. Ia melihat sang ayah – yang biasa memanjakannya dengan permen, cerita sebelum tidur dan jalan-jalan (ke rumah janda untuk menarik perhatian) – berubah menjadi monster yang melolong.

Ayah melempar botol itu ke sembarang arah. Ia mendekat ke arah Berlian yang ketakutan, begitu pula sang ibu. Untungnya sang ayah hanya menarik Tiara. Mereka tau, bahwa sang Ayah tidak akan pernah menyakiti atau melukai si bungsu.

“Kita dikhianati, Nak,” erang Ayah sambil memeluk Tiara. Bau alkohol dan keringat merasuk hidung. “Ibumu lebih memilih orang lain daripada kita!”

Ibu hanya diam. Matanya kering, namun Berlian melihat kepalan tangan putih dan kuku yang mencengkup daging di telapak. “Aku tidak punya pilihan,” ucap ibu pelan. “Kita butuh makan. Anak butuh pendidikan.”

Esok paginya, Ibu pergi sebelum matahari terbit. Ia menyempatkan diri ke kamar kedua putrinya untuk mengecup kening mereka. 

Tiara segera terbangun, saat mendengar bunyi koper digeser dari balik tirai. Ia melihat ibu mengenakan blezer biru – benda asing yang tak pernah tampak ada di rumah di antara sari dan daster lusuh yang biasa dipakai sang ibu.

Tiara segera bergegas mendekat dan menarik sudut daster ibu. “Ibu pergi?” tanyanya dengan suara kecil.

Ibu membungkuk dan mencium keningnya. “Ibu pulang cepat.”

Tiara hanya diam sambil teringat kata-kata Samudra. “Dia akan meninggalkan kita,” bisiknya saat menyuapi Tiara makan malam di rumah Janda. “Perempuan yang baik tidak akan keluar rumah tanpa suami.”

Di kali ketiga ibu kembali berangkat bekerja, Ayah memecahkan vas hadiah pernikahan saat sang ayah masih bekerja. Di minggu kedua, Tiara mulai bangun lebih pagi untuk menyiapkan kopi ayah – seperti yang diajarkan sang janda, tentang anak soleha yang menyayangi ayahnya.

Sedangkan, Berlian diam-diam menyimpan pecahan kaca dan keramik yang pernah melukai ibu. Sebagai bukti bagaimana ibu berjuang.

Beberapa tahun kemudian, di pagi hari, aroma kopi pahit dan susu menguar memenuhi dapur. Kondisi rumah mereka sekarang berjalan baik. Bahkan mereka sudah pindah ke rumah yang lebih besar. Berlian dan Tiara pun sudah mulai beranjak remaja.

“Lagi-lagi ibu membuat ayah sedih,” bisik Tiara pelan pada Berlian yang tengah memotong sayur. “Tadi malam aku dengar ayah nangis di kamar mandi.”

Berlian tidak menoleh. Tangannya tetap stabil memotong sayur seperti diajarkan sang Ibu dulu. “Bukannya selalu begitu, setiap ibu berangkat dinas,” ujarnya datar.

Di atas meja di sudut dapur, ada secarik kertas – surat pemutusan kontrak ART yang ketiga tahun ini. Kata Ayah, si Mbak mencuri perhiasan. Tapi Berlian tahu yang sebenarnya; kemarin sore ia melihat sendiri. Sang Ayah pergi mengejar ART sampai kamar mandi, tertawa kasar sambil memeluk pinggangnnya.

“Ayah bilang mereka takut sama ibu.” Tiara melanjutkan sambil meniru nada victim Ayah dengan sempurna. “Katanya ibu galak dan pelit.”

Berlian menatap adiknya. Di balik kaca mata minusnya, Tiara masih terlihat seperti bayi yang dulu ia gendong untuk menghindari lemparan piring. Tapi sekarang matanya sudah berbeda – ada kepuasan kecil setiap kali ia bisa menyakiti Ibu dengan kata-kata Ayah.

“Kamu benar-benar percaya sama semua ucapan Ayah?” tanya Berlian sambil menyodorkan susu hangat. Ia benar-benar lelah untuk menasihati sang adik.

Tiara mengernyit. “Ibu memang jarang di rumah. Kamu tidak ingat waktu kita kecil dulu, Ayah yang selalu ….”

Terdengar suara pintu di depan terbanting. Tampak ibu masuk dengan sepatu boots berdebu dan tas laptop yang sudah kusam. Bau hujan dan asap knalpot menyerbu ruangan.

“Aku harus ke Singapura besok,” Ibu meletakkan dokumen di meja. “Meeting dengan buyer tekstil.’

Dari ruang tamu, botol miras dilempar ke dinding. “Dasar jablay!” teriak Samudra. “Kerjaannya cuma keluar kota sama laki-laki!”

Tiara langsung berlari ke Ayah. Berlian hanya bisa diam sambil melihat sang ibu yang menarik nafas panjang, lalu mengambil koper kecil dari bawah tangga. Koper itu penuh stiker bandara – Bangkok, Tokyo, Dubai – seperti lencana keberanian yang tak pernah diakui keluarga ini.

Pecahan botol berkilauan di lantai ketika ibu melewatinya tanpa ragu. Darah mengalir dari kakinya yang hanya berkaki sandal rumahan nan tipis, tapi wajahnya tidak berubah dan tetap tenang.

“Awas, Ra,” bisik Berlian sambil membersihkan luka di telapak tangan adiknya yang gemetar. “Kaca.”

Tapi Tiara malah mendekatkan diri ke pelukan Samudra, matanya membelalak menatap Diana penuh tuduhan. “Lihat apa yang ibu buat?!”

Ibu hanya mengangguk, lalu menutup pintu kamarnya. Berlian tahu – di balik pintu itu, ibu sedang merogoh lemari rahasia yang berisi emas dan paspor. Persiapan untuk pertempuran yang tak akan pernah ia pahami di usianya sekarang.

Ayah segera keluar bersama Tiara entah ke mana. Mungkin bertemu seseorang yang juga disapa ibu oleh adiknya akibat bujukan sang Ayah. Sedangkan dirinya ditinggal sendiri di sini.

Ia mengambil langkah untuk mengobati kaki ibu terlebih dahulu. Namun, sebelum masuk ia mendapati ibu tengah merogoh kolong lemari. Terdengar suara robekan lakban di dalamnya. Kemudian tampaklah kantung plastik bening berisi buku tabungan, beberapa perhiasan kecil sederhana yang tampak mahal, beserta kertas-kertas kecil yang terlipat dan mungkin itu adalah kwitansi pembelian serta surat kepemilikan.

“Lili, aku benar-benar ingin kamu menyimpan semua simpananku ini,” bisik ibu melalui telepon, suaranya terdengar parau. “Kalau sesuatu terjadi padaku ….”

Berlian menahan napas dengan kepala tertenduk. Ia ingin maju, ingin juga membela ibu saat ayah emosi. Namun kakinya tak bisa bergerak, bahkan tubuhnya gemetar ketakutan.

“Ini untuk biaya sekolah anak-anak nanti. Tolong jangan kasih tahu siapa-siapa.”

Kantung itu sedikit bergemerincing ketika berpindah ke tangan Tante Lili keesokan harinya. Di sudut gang yang cukup terpencil dan jauh dari rumah, Berlian menguping percakan mereka.

“Kamu yakin nggak mau cerai?” tanya Tante Lili, matanya merah. “Aku melihatnya memukul Berlian minggu lalu. Mungkin dia mengira putrimu yang melaporkan perselingkuhan itu.”

Ibu mengusap lengan kirinya yang masih berbekas lebam. Entah apa lagi yang dilakukan Ayah setelah pulang. “Ibuku masih hidup. Aku nggak mau jadi penyebab kematiannya.” Suaranya pecah. “Dia pernah dilarikan ke rumah sakit karena menyayat pergelangan tangannya setelah aku bicara soal perceraian.”

Di hari yang sama, Berlian tak sengaja menemukan nota pembelian sepatu, tas dan beberapa perlengkapan sekolah miliknya dan Tiara di antara tagihan listirik. Nilainya membuatnya tercekat – cukup untuk membayar DP mobil baru seperti yang ada diiklan-iklan, tapi Tiara merasa miliknya sudah ketinggalan zaman. Padahal belum ada satu tahun barang-barang itu sampai ke tangan mereka.

Dan malam itu, Ayah kembali mabuk. Botol bir kosong berguling di lantai ketika ia menyeret Tiara ke kamar. “Lihat, Nak!” Ia membuka laci dengan kasar. “Ibumu menyembunyikan uang! Dasar perempuan serakah!”

Berlian mengintip dari balik pintu. Ayah tengah mengobrak-abrik seluruh kamar, tapi tak menemukan apa-apa. Ia tak tahu Ibu sudah memindahkan semuanya – sejak kejadian ART pertama dipecat, sejak ia menemukan kamar mandi berbau parfum murah dan lipstik di kerah baju Ayah.

Berlian menghela napas dan kembali ke kamarnya sendiri. Ia merogoh bawah tempat tidur. Di sana terselip kertas alamat dan nomor Tante Lili yang bisa dihubungi. Siapa tahu, jika ia tak lagi bisa bertahan di sini, dirinya bisa kabur ke sana.

—-

Di sebuah restoran mewah, seluruh keluarga sedang berkumpul merayakan ulang tahun Tiara yang ke – 25, tempat di mana sang suami yang bekerja sebagai pegawai kementrian biasa menjamu atasan. Lampu kristal memantulkan kilauan cincin berlian di jarinya – hadiah dari Ayah, yang dibeli dengan uang Ibu dengan ancaman.

“Ayah bilang Ibu hina,” ujar Tiara, menyela obrolan para tamu. Dagunya menunjuk ke arah Ibu yang sibuk membuat perhitungan dengan Ipadnya. “Ayah bilang perempuan baik tidak perlu sok mandiri seperti Ibu.”

Hendra sang suami hanya tersenyum kecut sambil menyulut rokok. “Tapi kita harus akui. Bu … tanpa jaringan Ibu di kementrian, proyekku tidak akan lolos.” Asap rokoknya membentuk lingkaran di atas kepala Ibu. “Cuma sayang, cara Ibu dapatkan proyek itu agak ….”

Berlian menumpahkan anggur yang diberikan oleh pria hidung belang, teman Hendra ke pangkuan suami sang adik kesayangannya itu. “Maaf, tangan saya licin.” Ia tidak bisa benar-benar membuat keributan di sini. Sang ibu selalu menekankan untuk melindungi Tiara.

Di ujung meja, Ibu tidak bereaksi. Tangannya yang sudah berkeriput sibuk menyesuaikan data di Ipad. “Besok ada pengiriman di Rotterdam,” bisiknya pada Tante Lili yang duduk disebelahnya. “Aku harus pastikan kontainer tidak delay.”

Tiara meraup kue ulang tahun dengan garpu perak. “Ibu bahkan tidak lihat aku tiup lilin tadi,” keluhnya pada Hendra. Suaranya sengaja dikeraskan. “Dari kecil memang begitu, Ayah yang selalu ….”

Ibu berdiri tiba-tiba. Tas kerjanya yang sudah usang terbuka, memperlihatkan dokumen kontrak dan sebotol obat maag. Ia melirik ke arah Berlian sebagai tanda ajakan. “Permisi, saya ada konferensi video dengan buyer dari Jerman.”

Ketika pintu restoran tertutup, Hendra tertawa. “Lihat, Ra? Ibumu lebih memilih orang asing daripada anak sendiri.”

Berlian melihat jam tangan mewah dipergelangan Hendra – persis seperti yang sering Ayah pakai dulu. Di balik kaca jendela, Ibu terlihat sedang menelpon sambil mengelus punggungnya yang sakit.

“Aku juga harus kembali.”

“Tapi, Kak ….”

“Aku harus menjemput anak-anak dari rumah mertua besok.”

Ya, Berlian sudah menikah dan suaminya meninggal karena kecelakaan. Jadi terkadang, saat mereka rindu dengan cucu. Ia sendiri mengantar anak-anak ke luar kota.

“Baiklah. Hati-hati.”

Berlian segera keluar dan menyusul Ibunya. Sejujurnya ia masih ingin menasihati sang adik. Bagaimana pun saat Ayah mulai emosi saat ibu pergi, Tiara lah yang maju ke depan dan membujuk. Sehingga tak ada pukulan yang diterimanya. Namun sang adik telah termakan omongan Ayah sejak dulu. Jadi tak ada lagi yang bisa dikatakan dan dilakukan olehnya.

Pada akhirnya, Ibu dan Berlian meninggalkan pesta itu. Di mana tak ada satu pun makan yang halal untuk cucu dan keponakan mereka itu.

Kabar duka terdengar, tapi bagi Ibu itu seperti kebebasan dan surga dunia.

Di umurnya yang ke 97 tahun, nenek wafat pada suatu Senin pagi ketika hujan gerimis membasahi kaca jendela. Upacara pemakamannya sederhana, dihadiri oleh tetangga yang selama ini hanya berbisik-bisik di belakang keluarga mereka.

Tiga hari setelah pemakaman, Ibu mengajak Berlian makan siang di warung bakso dekat kantor ekspornya. Tempat itu biasa ia datangi ketika butuh berpikir jernih, jauh dari teriakan Ayah dan rengekan adiknya, Tiara.

“Bagaimana mertuamu?”

“Baik, Bu. Mereka juga bertanya, kapan Ibu bisa mampir.”

“Dalam bulan ini, jadwal ibu penuh. Mungkin ibu akan meluangkan waktu bulan depan. Bagaimana keadaan Faiz dan Khadijah?”

“Masih nakal dan susah dikasih tau.” Berlian memberengut kesal. “Tapi mereka rindu ibu dan ingin bertemu ibu.”

“Bawa aja sesekali ke sini.” Ibu memasukkan sepotong daging rendang ke piring Berlian. “Ibu akan bercerai.”

Berlian tidak lagi terkejut. Ia sudah melihat tanda-tandanya saat berkunjung ke rumah susun kumuh sewaan Ibu yang tak jauh dari kantor. Semenjak Berlian menikah dan keluar dari rumah mengerikan itu, Ibu pindah ke tempat kecil, agar Ayah tidak punya keinginan untuk tinggal di sana.

“Ibu tahu, kamu akan mengerti,” lanjut Ibu, matanya menatap langsung ke wajah Berlian untuk pertama kalinya sejak ia berusia tujuh tahun.

Tiba-tiba Tiara datang dengan wajah merah dan mata berkaca-kaca, menyerbu restoran padang itu seperti badai.

“Ayah bisa mati sendirian!” teriaknya, suaranya melengking hingga para pelanggan lain menoleh. “Setelah semua yang Ayah lakukan untuk kita ….”

“Bukankah kau ada?” potong Ibu dengan suara datar. Kali ini, tak ada air mata yang menggenang, tak ada ragu di matanya.

Tiara terkesiap, “Tapi … tapi keluarga …..”

“Keluarga?” Ibu mengeluarkan amplop coklat dari tasnya. Di dalamnya ada foto Ayah dengan ART terbaru, rekaman percakapan mesra dengan wanita lain, dan laporan bank yang menunjukkan bagaimana uang hasil kerjanya selama ini dipakai untuk membeli hadiah-hadiah tak berarti. “Ini keluargamu sendiri. Pilihlah!”

Udara di sana tiba-tiba terasa pengap. Tiara menggenggam erat foto itu, mulutnya bergertar seperti anak kecil yang baru sadar kalau ia ditinggalkan sendirian di pasar.

“Itu salahmu! Kalau kau tak sibuk dengan duniamu sendiri, Ayah tak akan kesepian!”

“Lalu, membiarkan kita mati kelaparan dan dipukuli olehnya?”

Berlian terdiam. “Kau tega,” ucapnya lirih.

Ibu memanggil pelayan dan membayar tagihan. Setelah pelayan itu pergi, ibu berkata, “tega itu membiarkan anak-anakku tumbuh dengan mengira kekerasan adalah cinta.”

Di luar, langit mendung mulai berubah cerah. Sebuah taksi berhenti di depan warung. Ibu segera pergi tanpa menoleh, ketika Tiara menjatuhkan diri di lantai dan menangis histeris.

Cerpen : Ibu Terbakar Di Album Kami (2)

Cerpen : Ibu Terbakar Di Album Kami (1)
Angin malam berdesir melalui jendela kamar yang terbuka ketika Ibu membuka lemari besi di bawah tempat tidur reotnya di rumah susun. Berlian berdiri di ambang pintu, menyaksikan Ibu mengeluarkan sebuah album foto tua yang kulitnya sudah retak-retak.

“Aku tidak akan membawa ini,” bisik Ibu, jemarinya menyentuh halaman pertama yang menampilkan foto pernikahannya. Wajahnya yang masih muda tersenyum kaku disamping Ayah yang berdiri tegak dengan kebanggaan palsu.

Dengan gerakan mantap, Ibu merobek foto itu tepat di tengah, memisahkan dirinya dari bayangan laki-laki yang selama ini mengikatnya.

“Biar Berlian bantu, Bu.” Berlian maju, mengambil foto berikutnya – gambar Tiara kecil yang digendong Ayah, sementara sang Ibu terpotong di pinggir frame. Robekan kertas terdengar seperti derai tawa pahit.

Satu per satu, kenangan itu mereka musnahkan. Foto keluarga di pantai – di mana Ayah memaksa mereka pulang karena cemburu pada pria yang kebetulan salah satu partner bisnis Ibu tengah melakukan perjalanan bisnis di sana. Potret ulang tahu Berlian – di mana ibu harus meninggalkan acara karena dipanggil kerja. Gambar liburan ke Jogja – di mana Ayah mengunci Ibu di kamar hotel semalaman dan memaksa keinginannya.

Hanya satu foto yang selamat – potret Ibu muda yang tengah berdiri di kampus impiannya. Waktu itu, Ibu adalah murid berprestasi, selama SMA ibu juga bekerja paruh waktu di warung makan sebgai tukang bersih-bersih dan pelayan demi mengumpulkan uang untuk ke perguruan tinggi. Namun semuanya sirna. Anak laki-laki satu-satunya yang menjadi kesayangan nenek terlibat utang judi dan hampir mati dipukuli.

Ibu yang satu tahun lebih tua dari mendiang paman pun terpaksa merelakan semuanya. Bahkan rela menikah dengan Ayah yang menjajikan mahar besar untuk melunasi hutang paman. Meski selamat dari preman penagih hutang, Beliau kembali ke jalan itu dan meninggal dalam keadaan sakau.

Ibu segera menyimpan foto itu di saku blazernya. Mengeluarkan koper-koper yang sudah berjejer rapi di sudut ruangan. Koper besar untuk keperluan bisnis dan koper kecil untuk barang-barang pribadi. Berlian memperhatikan bagaimana Ibu dengan sengaja membuang cincin kimpoi dari jendela.

“Ibu tidak menghbungi Tiara? Tanyanya saat mereka berdiri di depan pintu.

Ibu menoleh dan menatap Berlian. “Saat berkunjung ke sana, Ibu sudah menyelipkan nomor baru ibu di bawah lampu tidur di kamarnya. Kalau dia mau … dia tahu harus bagaimana.”

Di bandara, sambil menunggu boarding call, Ibu mengeluarkan dompetnya dan melihat foto Berlian dan Tiara saat masih kecil. Untuk sesaat, jemarinya bergetar. Kemudian, dengan napas panjang, ia mengeluarkan foto itu dan pemantik korek api.

Api menyala singkat di tangannya sebelum ia menjatuhkan foto yang terbakar ke tempat sampah yangt terbuat dari besi itu. “Sudah cukup,” bisiknya, mengangkat koper dan berjalan menuju gerbang keberangkatan tanpa sekali pun menoleh kembali.

—-

Tahun-tahun berlalu setelah Ibu pergi.

Tiara, yang dulu selalu membela Ayah, kini berdiri di depan cermin apartemen mewahnya, memandangi wajahnya yang mulai menampakkan garis-garis halus – persis seperti yang dulu dimiliki Ibu. Di tangannya, ponsel berdering – telepon dari sekolah anak pertama yang ketiga kalinya dalam seminggu ini.

“Bu Rina, Andi berantem lagi di sekolah. Katanya dia meniru omongan Ayahnya ke pembantu ….”

Tiba-tiba terdengar suara Hendra dari belakang yang menggelegar. “Dasar kurang ajar! Nanti aku yang urus!”

Direbutnya ponsel itu. Setelah mengucapkan beberapa kata, ia langsung mematikan dan menyerahkan kembali pada Tiara. Membuatnya teringat kalimat yang sama yang pernah diucapkan Ayahnya dulu.

Keesokan paginya, ia segera datang mengunjungi sang Ayah di rumah sakit – kanker hati stadium akhir akibat minuman keras. Tiara membawa kotak tua yang ditemukan di bawah tempat tidurnya saat membereskan kamar Ayah. Di dalamnya ada surat-surat cinta Ayah untuk wanita lain, bon hotel, dan – yang membuatnya tersedak – foto-foto dirinya kecil dengan Ibu yang telah disobek separuh, menyisakan wajah Ayah dan dirinya.

“Ayah kenapa?”

Ayah yang sudah kurus kering hanya memalingkan wajah. “Dia memang tidak pernah pantas menjadi istri.”

Sepulang dari sana. Rina langsung membuka laci tersembunyi di ruang kerja Hendra – sesuatu yang tidak pernah berani dilakukannya selama ini. Isinya pun membuat darahnya membeku.

‘Foto selfi dengan sekretari kantor’, ‘tagihan apartemen bulanan di kawasan elit’, ‘resep obat kuat’.

Semua itu, persis dengan apa yang dulu ditemukan Ibu.

Suasana pemakaman tampak sepi, hanya segelintir orang yang hadir. Tiara memandang nisan sang Ayah dengan pedih. Ia tadi mencari wajah Ibu di antara kerumunan, meski tahu itu hanya harapan kosong.

Ketika pulang dari pemakaman, anak pertamanya bertanya dengan polos, “Ibu, nenekku yang baik itu kapan datang lagi? Yang dulu suka bawa oleh-oleh dari luar negeri.”

Tiara tak bisa menjawab. Ia juga sudah mencoba untuk menghubungi nomor yang ibu tinggali, tapi selalu masuk voicemail. 

Akhirnya dia menyerah dan masuk ke kamar. Mengambil album dan membukanya untuk mengenang. Saat membolak-balik album lama itu, ia baru sadar. Tidak ada satu pun foto di mana ibu terlihat benar-benar bahagia.

Tiara tak pernah menyerah, bahkan ia membuka blokiran Berlian di ponselnya. Menanyakan di mana Ibu dan bagaimana kondisinya.

Namun Berlian hanya mengatakan alamat dengan ketus dan langsung mematikan ponselnya. Ia tahu, sang kakak sudah larut dibuat kecewa olehnya.

Tiara segera pergi ke apartemen di dekat pelabuhan. Tapi yang ia dapat hanya apartemen kosong dengan semacam monumen kecil di sudut ruang.

Sebuah koper tua penuh stiker bandara, dan di atasnya – foto ibu muda tersenyum di depan Menara Eiffel bertuliskan “Akhirnya Merdeka” dengan tanggal yang sama dengan kematian Ayah.

Di balik foto itu, tulisan tipis :

“Untuk Tiara … aku menunggumu sampai siap. Namun takdir tak bisa lagi kuhentikan.”

Surat itu membuatnya sadar, bahwa selama ini Ibu tak pernah membencinya. Ibu hanya lelah, karena terlalu sering ditolak untuk dicintai. Namu, Tiara masih tak percaya, jika Ibu benar-benar meninggalkan dunia ini. Ia berusaha mencari bukti keberadaan Ibu. 

Tiba-tiba, sebuah map coklat terjatuh dari atas lemari. Di dalamnya ada catatan kesehatan Ibu. Yang ternyata sudah lama mengidap magh kronis. Ada pula beberapa catatan komplikasi penyakit akut.

“Hahaha!”

Air matanya turun tak berhenti. Tiara luruh di lantai apartemen kosong. Dirinya barus sadar bahwa Ibu tidak pergi karena benci, ta

(TAMAT)

Quote:

Tiongkok Pertimbangkan Tangguhkan Tarif 125% atas Impor AS demi Stabilitas Industri

“Perang dagang memang bisa jadi strategi tekanan, tapi bagaimana jika justru merugikan diri sendiri?”Tiongkok Pertimbangkan Tangguhkan Tarif 125% atas Impor AS demi Stabilitas Industri

Pemerintah Tiongkok kini tengah menimbang ulang langkah kerasnya terhadap Amerika Serikat. Menurut laporan Bloomberg yang dirilis baru-baru ini, Beijing mempertimbangkan untuk menangguhkan tarif tinggi sebesar 125% terhadap sejumlah produk impor dari AS. Ini bukan tanda melemah, tapi respons strategis atas dampak ekonomi yang semakin terasa di dalam negeri.

Langkah ini menandai perubahan sikap yang signifikan dari Tiongkok. Sebelumnya, negara itu telah memberlakukan tarif balasan sebagai bagian dari eskalasi perang dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia. Namun, sumber yang mengetahui langsung situasi ini mengungkapkan kepada Bloomberg bahwa pemerintah mulai mengkhawatirkan tekanan berat yang dialami industri tertentu, terutama yang bergantung pada bahan baku atau komponen dari Amerika Serikat.

Tarif sebesar 125% tersebut awalnya ditujukan sebagai langkah pembalasan terhadap kebijakan proteksionis AS, termasuk larangan ekspor teknologi canggih ke Tiongkok dan dukungan terhadap industri dalam negeri Amerika. Tapi seiring waktu, efek domino dari kebijakan ini mulai dirasakan juga oleh pelaku usaha di Tiongkok sendiri. Kenaikan biaya produksi, kesulitan pasokan, hingga penurunan daya saing di pasar global menjadi sorotan utama.

Sektor yang paling terdampak termasuk industri manufaktur teknologi tinggi, otomotif, serta petrokimia. Beberapa perusahaan dilaporkan mulai menekan pemerintah agar mengkaji ulang kebijakan tarif ekstrem ini, mengingat tekanan yang ditimbulkan terhadap stabilitas operasional mereka.

Selain alasan ekonomi domestik, ada pula indikasi bahwa langkah ini bisa menjadi bagian dari strategi diplomasi dagang yang lebih fleksibel dari Beijing. Dengan menangguhkan tarif, Tiongkok berpotensi membuka ruang negosiasi baru dengan AS di tengah ketegangan geopolitik yang masih tinggi. Ini bisa dimaknai sebagai sinyal bahwa Tiongkok masih terbuka terhadap pendekatan yang lebih pragmatis dalam menyelesaikan konflik ekonomi bilateral.

Namun, hingga saat ini belum ada keputusan resmi yang diumumkan. Pemerintah Tiongkok masih dalam tahap mempertimbangkan dampak dan konsekuensi dari setiap langkah yang diambil. Jika benar kebijakan tarif ini ditangguhkan atau dilonggarkan, ini akan menjadi perkembangan besar dalam dinamika perang dagang yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.

Sebaliknya, bagi Amerika Serikat, keputusan ini juga akan menjadi momen penting untuk mengukur sejauh mana tekanan ekonomi yang mereka dorong telah mempengaruhi kebijakan Tiongkok. Ini bisa membuka ruang bagi AS untuk menyusun ulang strategi dagangnya di Asia, sekaligus memperkuat posisi mereka dalam persaingan global yang semakin kompleks.

Sumber: Bloomberg, 2025.

Barcelona Juara ke-32 Copa del Rey, Pemain Real Madrid Ngamuk!

Barcelona Juara ke-32 Copa del Rey, Pemain Real Madrid Ngamuk!
Raih gelar ke-32, Barcelona klub tersukses di Copa del Rey

Barcelona Juara ke-32 Copa del Rey, Pemain Real Madrid Ngamuk!
emoticon-Bola

Barcelona berhasil menjuarai Copa del Rey musim 2024/2025 pada Minggu Pagi WIB. Gelar ke-32 diraih tim Blaugrana usai kemenangan dramatis atas rival beratnya Real Madrid dengan skor akhir 3-2 di stadion Estadio Olimpico de la Cartuja, Sevilla, Spanyol.

Unggul skor 1-0 di babak pertama melalui gol Pedri, tim asuhan Hans-Dieter Flick sempat tertinggal 1-2 melalui gol pemain Real Madrid berkebangsaan Perancis pada menit ke-70’ dan 77’ oleh Kylian Mbappe dan Tchouameni. Namun keunggulan Real Madrid tidak berlangsung lama, sebab Ferran Torres berhasil menyamakan kedudukan 2-2 pada menit ke-84’.

Kedudukan seri membuat wasit Ricardo de Burgos Bengoetxea harus memberikan perpanjangan waktu 2×15 menit. Sampai akhirnya kunci kemenangan Barcelona tiba saat J. Kounde pada menit ke-116’ berhasil menyarangkan bola ke gawang Real Madrid yang dijaga oleh T. Courtois. Skor akhir 3-2 bertahan sampai wasit meniup peluit panjang di babak perpanjangan waktu.
Quote:
Quote:

Gelar ke-32 ini membuat Barcelona menjadi tim yang paling banyak menjuarai Copa del Rey atau Piala Raja Spanyol. Athletic Bilbao menjadi klub kedua terbanyak dengan raihan 24 juara, sedangkan Real Madrid menjadi klub ketiga dengan 20 kali juara.

Duel El Clasico sungguh menjadi perhatian menarik bagi pecinta bola, laga serupa masih tersaji di musim 2024/2025 tepatnya pada kelanjutan kompetisi La Liga pada pekan ke-35, 11 Mei 2025.

*****
Demikian thread dari saya, semoga bisa berjumpa lagi di thread berikutnya.
Terima kasih. Salam Bal-balan!
Barcelona Juara ke-32 Copa del Rey, Pemain Real Madrid Ngamuk!
Source
Writer: I am a football lover
Picture:*

2 Negara Diambang Perang: Kashmir Diserang Teroris, India malah Salahkan Pakistan!

2 Negara Diambang Perang: Kashmir Diserang Teroris, India malah Salahkan Pakistan!

2 Negara ini Diambang Perang: Kashmir Diserang Teroris, India malah Salahkan Pakistan!

Tindakan terorisme masih kerap terjadi di seluruh dunia, dengan berbagai motif yang mendasarinya, mulai dari perlawanan terhadap ketidakadilan hingga pembelaan terhadap ideologi tertentu. Aksi-aksi ini sering kali tidak hanya merugikan pihak yang dituju, tetapi juga menimbulkan dampak yang sangat merusak bagi masyarakat sipil.

Banyak orang yang tidak terlibat dalam konflik tersebut menjadi korban, kehilangan nyawa mereka tanpa memahami alasan di balik kekerasan yang terjadi. Ini tentunya jadi momok menakutkan, dan masalah dunia yang sepertinya tak kunjung usai.

Banyak pelaku teror yang teridentifikasi, termasuk dari Organisasi Papua Merdeka (OPM), ISIS, Al-Qaeda, IRA, serta kelompok militan lainnya di seluruh dunia. Keberadaan mereka menunjukkan bahwa ancaman terorisme masih sangat nyata.

Quote:

2 Negara Diambang Perang: Kashmir Diserang Teroris, India malah Salahkan Pakistan!
Berbagai upaya dilakukan oleh India kepada Pakistan, dari menurunkan status hubungan diplomatik, menarik penasihat militer, membatalkan visa warga negara Pakistan yang berkunjung ke India, sampai pada penangguhan Perjanjian Air Indus, sebagai sanksi atas peristiwa yang belum dibuktikan keterlibatan dari oknum orang Pakistan itu sendiri.

Akibat serangan ini, Pakistan pun akhirnya bereaksi, pada hari Kamis (24/4), mereka mulai melakukan balasan dengan menutup wilayah udaranya bagi penerbangan maskapai India. Pakistan menolak keras penangguhan perjanjian tersebut, bagi mereka, upaya menghentikan aliran air milik Pakistan adalah tindakan perang yang harus ditanggapi dengan kekuatan skala penuh.


Spoiler for :

Sebenarnya, konflik yang terjadi di Kashmir adalah masalah internal India yang seharusnya diselesaikan oleh pihak-pihak yang terlibat di wilayah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa penyelesaian yang tepat harus melibatkan dialog dan negosiasi antara semua pihak yang berkepentingan. Dengan cara ini, diharapkan akan ada solusi yang adil dan berkelanjutan untuk semua yang terlibat.

Walaupun tindakan terorisme itu sangat kejam hingga menewaskan 26 nyawa manusia, namun meningkatkan eskalasi konflik antara India dan Pakistan akan membawa dampak mengerikan bagi 2 negara tersebut. Apalagi dua negara ini punya tentara yang banyak, militer yang canggih dan mempunyai senjata nuklir. Tentunya malah bikin warga sipil semakin banyak yang menderita.

Sumber Tulisan dan Gambar:

https://www.google.com/url?sa=t&sour…9GjwYrtC-YJl3i

https://www.google.com/url?sa=t&sour…hDhcaJpYiMGHh_

https://kumparan.com/kumparannews/in…60404995464342