Warga Tanah Datar Meninggal Dunia Ditendang Sapi Kurban

Warga Tanah Datar Meninggal Dunia Ditendang Sapi Kurban

PADANG — Warga di Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat (Sumbar) bernama Jafar meninggal dunia usai ditendang oleh sapi kurban ketika hendak disembelih pada Sabtu (7/6), sekitar pukul 10:00 WIB.
Kejadian tersebut dibenarkan oleh Wali Nagari (setingkat Lurah) Barulak, Tanah Datar, Azizman ketika dihubungi dari Padang, Sabtu.
“Memang benar, korban adalah salah seorang pekerja kurban yang kena tendang oleh sapi lalu meninggal dunia,” kata Azisman membenarkan.
Ia menyampaikan turut berduka cita atas peristiwa yang didalami oleh warganya Jafar Dt Pado Nan Kuniang itu.
Lokasi kejadian tepatnya di Mushalla Firdaus, Jorong Dalam Nagari, Barulak, Kecamatan Tanjung Baru, dengan jumlah kurban sebanyak dua ekor sapi.
Pada saat itu korban yang berusia 80 tahun dan berjenis kelamin laki-laki menjadi salah satu pekerja penyembelihan terhadap hewan kurban.
Namun nahas, seekor sapi melawan dan meronta ketika sudah direbahkan untuk disembelih, akibatnya tali pengikat pada bagian kaki sapi terlepas.
Ketika ikatan tali terlepas, kaki sapi yang tengah meronta mengenai tubuh korban Jafar yang sedang berada di dekat hewan kurban.
“Korban tidak tidak sadarkan diri setelah kena tendang, ia sempat dilarikan ke rumah sakit namun nyawanya tidak dapat terselamatkan,” jelas Azisman.
Jafar merupakan warga Dalam Nagari, Barulak, Tanah Datar, Sumbar. Sehari-hari korban bekerja sebagai petani.
Azisman menerangkan usai kejadian yang dialami oleh korban, proses penyembelihan hewan kurban di Mushalla Firdaus tetap dilanjutkan.

Sumber

jadi musibah? emoticon-Turut Berduka

BAHLIL DAN KILOMETER KEBOHONGAN: MENABUR TAMBANG DI SURGA, DITERIAKI RAKYAT YANG MUAK

BAHLIL DAN KILOMETER KEBOHONGAN: MENABUR TAMBANG DI SURGA, DITERIAKI RAKYAT YANG MUAK

Bahlil

Oke, mari kita mulai dari absurditas tingkat dewa ini. Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi, berdiri di depan mikrofon dan dengan wajah tanpa dosa berkata:

> “Pulau Piaynemo dengan Pulau Gag itu kurang lebih sekitar 30 km sampai dengan 40 km…”

Seolah-olah dengan jarak 40 kilometer, bom ekologis bernama tambang nikel itu akan berubah menjadi kucing lucu yang tak berbahaya. Seolah-olah laut dan udara bisa diberi pagar tak terlihat, agar pencemaran tak bisa menyeberang. Ini bukan dongeng anak-anak, Pak Menteri. Ini Raja Ampat—bukan ruang rapat BUMN!

Ketika Bahlil bilang tambang tidak akan mengganggu pariwisata karena “jauh”, itu seperti bilang kanker paru-paru tak berbahaya karena berada di sisi kiri tubuh. Raja Ampat adalah ekosistem utuh, satu tubuh hidup—hancurkan satu bagian, yang lain ikut sakit. Ini bukan soal kilometer, ini soal kehidupan.

Dan jangan lupakan ini: saat Bahlil hendak meninjau tambang di Pulau Gag, rakyat Sorong menyambutnya dengan teriakan protes. Mereka datang bukan dengan karpet merah, tapi dengan spanduk perlawanan. Tokoh adat, aktivis, masyarakat, semua turun tangan. Mereka muak. Mereka muak dengan politisi Jakarta yang datang membawa senyum dan investasi, tapi pulang meninggalkan lumpur dan lubang tambang.

> “Kita jangan disesatkan dengan apa kata Bahlil,” ujar Rio Rompas dari Greenpeace Indonesia.
“Biodiversitas Raja Ampat itu satu kesatuan. Kerusakan satu titik bisa merusak seluruh ekosistem.”

Tapi siapa peduli dengan ekosistem jika sudah ada kontrak tambang yang diteken sejak 2017? Bahlil bahkan berkata,

> “Saya belum masuk kabinet waktu izin itu keluar.”
Ah, klasik. Cuci tangan sambil menari di atas nisan ekologi.

Ini bukan soal siapa yang teken duluan. Ini soal siapa yang berani menghentikan. Tapi sayangnya, lebih mudah menyalahkan masa lalu daripada melawan kepentingan hari ini.

Dan kini, Raja Ampat digerogoti dari pinggir. Air mulai berubah, tanah mulai digusur, dan turis perlahan pergi. Tapi bagi para elit, semua baik-baik saja. Selama bisa diklaim “jauh dari wisata”, maka tambang boleh terus menari di surga.

Kami katakan cukup! Jangan bungkam rakyat dengan narasi pembangunan palsu. Jangan bodohi bangsa ini dengan kilometer kebohongan.
Karena tambang di Raja Ampat bukan pembangunan — itu perampokan!

Cerpen Pensiunan: Jam Tangan Pak Darto

Jam tangan itu masih melekat erat di pergelangan tangan Pak Darto, meskipun kulitnya sudah keriput dan sedikit mengendur. Jarum detiknya tak lagi berjalan, berhenti pada angka 4:27 entah sejak kapan. Tapi Pak Darto tidak pernah melepasnya. Katanya, itu bukan lagi sekadar penunjuk waktu, tapi penanda sejarah hidup.

 

Tiga puluh delapan tahun ia bekerja di pabrik tekstil di pinggir kota. Bangun subuh, naik angkutan umum, bekerja delapan jam mengoperasikan mesin jahit industri, lalu pulang saat langit sudah gelap. Begitu terus, dari zaman selagi muda sampai era digital. Ia tidak punya ijazah tinggi, tapi tangannya cekatan, dan hatinya jujur.

 

Dulu, saat usianya baru 25, Pak Darto sempat bertanya ke kepala personalia soal pensiun. “Dana pensiun, Pak?”

“Ah, itu cuma buat PNS. Kita mah enggak usah mikir sejauh itu. Yang penting kerja rajin, nanti juga hidup tenang di hari tua,” jawab atasannya sambil terkekeh.

Ia percaya saja. Karena zaman itu, tidak banyak yang tahu tentang dana pensiun. Tak ada yang bicara tentang inflasi, biaya rumah sakit, atau dana darurat. Semua fokus pada hari ini. Bagaimana cukup makan dan bisa menyekolahkan anak, sesederhana itu.

 

Tahun lalu, pabriknya tutup mendadak. Mesin-mesin diangkut truk besar malam hari. Para buruh, termasuk Pak Darto, hanya mendapat surat PHK dan ucapan terima kasih. Pesangon yang dijanjikan tak kunjung cair karena perusahaan mengaku bangkrut. Dan begitulah, di usia 62, Pak Darto resmi menganggur. Tanpa uang pensiun. Tanpa uang pesangon. Hanya bisa menerima semuanya.

—–

 

Hari ini, di rumah kontrakan kecil di pinggiran Bekasi, Pak Darto duduk di kursi plastik reyot. Di sampingnya, istrinya, Bu Marni, sibuk mencatat daftar utang warung.

“Pak, kita harus bayar listrik minggu ini. Kalau tidak, diputus,” katanya lirih.
Pak Darto hanya mengangguk. Uang hasil narik ojek online kemarin hanya cukup untuk membeli obat darah tinggi dan beras 2 liter.

 

Anak-anak mereka semua sudah menikah dan hidup pas-pasan. Ada yang jadi karyawan toko, ada yang kerja serabutan di Jakarta. Dulu, Pak Darto selalu bilang, “Bapak gak mau ngerepotin kalian di hari tua.” Tapi sekarang, ia bahkan bingung apakah bisa beli gas elpiji untuk bulan depan.

 

Kadang, malam-malam ia duduk sendirian di dapur, menatap jam tangannya yang beku. Ia teringat rekan-rekan sekerja yang dulu bilang, “Kita gak kaya, tapi cukup.” Kini sebagian dari mereka sudah meninggal dalam kesulitan, atau hidup menumpang di rumah anak-anaknya.

—–

Di hari Minggu yang muram, Pak Darto ke pasar untuk menjual jam tangannya. Bukan karena butuh uang — jam itu pun tak laku mahal. Tapi karena ia lelah melihat waktu yang terus diam, seolah-olah mengejeknya. Menyindir bahwa ia tidak siap ketika akhirnya waktu memutuskan berhenti.

“Pak, saya bisa bantu kasih seratus ribu. Tapi jam ini sudah tua banget, mesinnya mati,” kata penjual barang bekas.

Pak Darto tersenyum. Ia mengangguk, menyerahkan jam itu perlahan. Seratus ribu. Cukup untuk bayar listrik, beli minyak goreng, dan sekantong mie instan.

 

Saat melangkah pulang, pergelangan tangannya terasa ringan, tapi hatinya berat. Ia bukan marah. Bukan sedih. Tapi hampa. Bukan karena miskin. Tapi karena tidak pernah diberi kesempatan tahu bahwa hari tua harus dipersiapkan.

Bukan karena malas. Tapi karena dulu tidak ada yang memberi tahu bahwa bekerja keras saja tidak cukup.

—-

Dan saat itu, di tengah pasar yang riuh, Pak Darto berjanji dalam hati:

“Kalau waktu bisa diulang, aku akan mulai menyisihkan sedikit demi sedikit.
Karena pensiun bukan soal berhenti kerja. Tapi soal hidup dengan martabat, mau seperti apa di hari tua?”

Pak Darto masih membatin, ternyata hiduptidak cukup hanya bekerja. Tapi harus berani menabung untuk hari tua, untuk masa pensiun. Agar tetap tenang dalam menjalani hari-hari saat tidak bekerja lagi, Yuk Siapkan Pensiun!

Cerpen Pensiunan: Jam Tangan Pak Darto

cerpen pensiunan: jam tangan Pak Darto

Langkah Terakhir di Hutan Kabut

Langkah Terakhir di Hutan Kabut

Namanya Tama. Seorang pria pendiam, 38 tahun, tinggal sendiri di sebuah desa pegunungan yang hampir terlupakan peta. Setiap pagi, ia bangun sebelum matahari, menjerang air di atas tungku, lalu menyeduh kopi hitam sambil menatap lembah yang tertutup kabut. Ia tak punya banyak kawan, tak juga banyak bicara. Tapi semua orang tahu: Tama adalah penjaga Hutan Kabut.

Hutan itu terletak di atas bukit yang diselimuti kabut hampir sepanjang tahun. Orang desa menganggap hutan itu angker. Banyak cerita: suara-suara aneh di malam hari, sosok tinggi dengan mata merah, dan kabar bahwa siapa pun yang masuk terlalu dalam… tak pernah kembali.

Namun, Tama masuk ke sana hampir setiap minggu. Sendirian.

Konon, ayahnya dahulu adalah peneliti yang hilang di dalam hutan itu. Sejak usia 17, Tama mulai masuk dan mencari. Tapi bukan hanya itu. Selama bertahun-tahun, ia menemukan petunjuk-petunjuk aneh: batu-batu dengan ukiran asing, pohon yang tumbuh melingkar sempurna, bahkan jam kantong tua yang masih berdetak di tengah lumut.

Sampai suatu hari, Tama merasa waktunya sudah dekat.

Ia bermimpi bertemu ayahnya, berdiri di tengah kabut dan berkata, *“Datanglah saat bulan purnama tertutup awan, di tempat matahari tidak pernah masuk. Di sana jawabannya.”*

Hari itu datang. Tama membawa bekal secukupnya, senter, pisau, dan buku catatan kecil berisi simbol-simbol yang pernah ia temukan. Ia masuk ke dalam hutan saat matahari baru saja tenggelam. Kabut lebih tebal dari biasanya, menelan setiap langkahnya dalam diam.

Ia berjalan selama dua jam, hingga sampai di sebuah dataran aneh—pohon-pohon melingkar, tanahnya basah, dan tidak ada satu pun suara jangkrik. Bahkan burung pun diam.

Di tengah dataran itu, ada batu besar dengan simbol yang sama seperti dalam catatannya. Tama menyentuh batu itu.

Tiba-tiba, tanah di bawahnya bergetar pelan. Kabut menari seperti pusaran, dan cahaya samar muncul dari celah-celah akar. Dari dalam kabut, muncul sosok samar… ayahnya. Lebih muda dari yang ia ingat.

“Ayah?” bisiknya.

Sosok itu tidak menjawab, hanya tersenyum dan menunjuk ke balik batu.

Di balik batu itu, tersembunyi gua kecil. Di dalamnya, penuh ukiran kuno, lukisan dinding yang menggambarkan manusia dan makhluk berkepala rusa, serta jam-jam tua bergantung tak beraturan.

Tama mengerti—ayahnya bukan hilang, tapi memilih tinggal, menyatu dengan penjaga hutan. Hutan Kabut bukan tempat biasa. Ia adalah simpul waktu, tempat antara dunia kini dan masa lalu. Tempat para penjelajah jiwa yang hilang dalam pencarian diri.

Tama duduk di dalam gua itu, membuka buku catatannya, dan mulai menulis.

> “Bila kau membaca ini, mungkin aku sudah jadi kabut. Tapi jangan takut. Kadang, untuk menemukan diri, kau harus tersesat sangat jauh.”

Sejak malam itu, Tama tak pernah kembali ke desa. Tapi setiap pagi, dari atas bukit, terlihat kabut menari-nari lebih terang dari biasanya. Dan sesekali, terdengar suara tawa samar dari dalam Hutan Kabut.

Penulisan Ulang Sejarah Indonesia dan Penolakan Narasi Tunggal

Penulisan Ulang Sejarah Indonesia dan Penolakan Narasi Tunggal

ILUSTRASI – . Sebuah sejarah yang ditulis tanpa mempertimbangkan konteks politik dan sosial akan menjadi sejarah yang hampa dan kehilangan maknanya. IVOOX.ID/AI

Pada Mei 2025, Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) mengeluarkan manifesto yang menentang upaya pemerintah untuk menulis ulang sejarah Indonesia menjadi satu narasi tunggal yang dikendalikan oleh kekuasaan.

Aliansi mengingatkan bahwa sejarah bukan milik pemerintah, tetapi milik rakyat.
Bagi mereka, penyeragaman sejarah yang dipaksakan tidak hanya membungkam suara-suara kritis dari rakyat, tetapi juga berpotensi menghilangkan identitas dan memori kolektif bangsa.

Diketahui, rencana pemerintah untuk menulis ulang sejarah Indonesia menjadi tema utama dalam wacana publik yang bergulir belakangan ini.

Pada 26 Mei 2025, Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengungkapkan bahwa pemerintah membuka ruang untuk diskusi publik terkait penulisan ulang buku sejarah Indonesia yang sedang disusun.

“Ya tunggu dulu bukunya, atau sampai progress, saya sampaikan tadi mungkin 70 persen, 80 persen. Sekarang sudah di atas 50 persen,” katanya di kompleks parlemen, Jakarta, Senin, dikutip dari Antara.

Draf buku sejarah ini dirancang dengan melibatkan 113 penulis, 20 editor jilid, dan tiga editor umum dari kalangan sejarawan dan akademisi lintas disiplin ilmu, termasuk arkeologi dan geografi.

Menurut Fadli Zon, meskipun penulisan buku sejarah ini telah mencapai progres lebih dari 50 persen, pemerintah masih akan membuka ruang bagi masyarakat untuk memberikan masukan setelah draf selesai. 

Namun, meski pemerintah mengklaim keterlibatan berbagai pihak, ada potensi bahwa penulisan sejarah yang terlalu terpusat di tangan kekuasaan. Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar, mengingat sejarah Indonesia selama ini telah banyak dipengaruhi oleh dinamika politik yang tidak selalu memperhatikan keragaman perspektif.

Sebab, sejarah adalah cerita tentang masa lalu yang memiliki banyak dimensi. Karena itu, penulisan sejarah yang ideal adalah yang mampu mengakomodasi berbagai perspektif dan pengalaman.

Dalam hal ini, para ahli dari AKSI menegaskan pentingnya penulisan sejarah yang bersifat terbuka dan inklusif, bukan yang dipaksakan atau dijadikan alat politik oleh kekuasaan. Hal ini ditegaskan dalam Manifesto AKSI yang menolak sejarah yang hanya menggambarkan satu narasi tunggal.

Dalam pandangan AKSI, penulisan sejarah harus menghargai keragaman suara, bukan menyamakan atau menyingkirkan mereka yang memiliki pengalaman berbeda.

“Kita harus menolak sejarah resmi yang teramat dipaksakan, yang membungkam suara-suara kritis, menghilangkan identitas dan memori kolektif rakyat. Kita harus menolak sejarah tunggal karena itu berarti meniadakan kompleksitas dan keragaman pengalaman manusia,” demikian Manifesto AKSI.

“Kita harus berjuang untuk sebuah sejarah yang egaliter, demokratis, dan berkeadilan. Kita harus berjuang untuk bisa memastikan bahwa suara-suara rakyat didengar, bahwa pengalaman-pengalaman mereka dihormati, dan bahwa kebenaran tentang masa lalu diungkapkan. Kita harus berjuang untuk memastikan bahwa sejarah tidak lagi digunakan sebagai alat penopang struktur kekuasaan, tapi sebagai cermin kebenaran dan keadilan,” lanjut Manifesto AKSI.

Penulisan Sejarah yang Demokratis dan Berkeadilan

Gagasan menulis ulang sejarah bukan hal baru. Sejarawan Abdul Wahid, dalam sebuah diskusi pada 2018, mengkritik fenomena ahistoris dan apolitis yang terkadang muncul dalam penulisan sejarah Indonesia. “Sebagian besar ilmu sejarah di Indonesia itu apolitis, tapi sebagian kecilnya tidak,” ucap Abdul Wahid, diakses dari laman UGM.

Wahid menegaskan bahwa setiap pilihan topik dalam penulisan sejarah sesungguhnya adalah pilihan politik, yang tidak bisa dilepaskan dari konteks ekonomi-politik yang melatarbelakanginya.

Menurutnya, sejarah yang tidak mempertimbangkan latar belakang politik dan sosial seringkali hanya akan menghasilkan narasi yang terdistorsi dan jauh dari realitas.
Salah satu usulan penting yang dikemukakan oleh para pakar sejarah, seperti yang dipaparkan dalam diskusi publik tentang Ilmu Sejarah dan Perkembangan Ilmu-Ilmu Sosial di Indonesia, adalah pentingnya menjaga independensi dalam penulisan sejarah.

Dalam diskusi tersebut, Lambang Trijono, dosen FISIPOL UGM, mengungkapkan bahwa ilmu sosial, termasuk sejarah, tidak boleh kehilangan daya kritisnya terhadap realitas sosial-politik yang ada. Sebuah sejarah yang ditulis tanpa mempertimbangkan konteks politik dan sosial akan menjadi sejarah yang hampa dan kehilangan maknanya
Sejarawan harus mampu menghindari konstruk-konstruk yang manipulatif dan mengembalikan sejarah pada akar-akarnya yang lebih riil, sesuai dengan kenyataan yang terjadi.

Abdul Wahid juga menambahkan bahwa sejarah Indonesia mengalami perkembangan yang signifikan dalam empat periode besar: periode kolonial, masa pembangunan negara pasca-kemerdekaan, periode pembangunan ekonomi di era Orde Baru, dan masa reformasi setelah 1998. Dalam setiap periode tersebut, penulisan sejarah tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi sosial dan politik, tetapi juga oleh kepentingan pihak-pihak yang berkuasa.

Wahid menegaskan bahwa penulisan sejarah Indonesia harus berfokus pada kebenaran dan fakta, bukan pada kepentingan politik tertentu.

China Larang Ekspor Rare Earth, Industri Panik, Produksi Terancam Berhenti Total

Global alarms rise as China’s critical mineral export ban takes hold

By Jarrett Renshaw, Ernest Scheyder and Jeff Mason
June 3, 2025 1:59 PM EDT Updated 44 min ago

June 3 (Reuters) – Alarm over China’s stranglehold on critical minerals grew on Tuesday as global automakers joined their U.S. counterparts to complain that restrictions by China on exports of rare earth alloys, mixtures and magnets could cause production delays and outages without a quick solution.

German automakers became the latest to warn that China’s export restrictions threaten to shut down production and rattle their local economies, following a similar complaint from an Indian EV maker last week.

China’s decision in April to suspend exports of a wide range of critical minerals and magnets has upended the supply chains central to automakers, aerospace manufacturers, semiconductor companies and military contractors around the world.

The move underscores China’s dominance of the critical mineral industry and is seen as leverage by China in its ongoing trade war with U.S. President Donald Trump.

Trump has sought to redefine the trading relationship with the U.S.’ top economic rival China by imposing steep tariffs on billions of dollars of imported goods in hopes of narrowing a wide trade deficit and bringing back lost manufacturing.

Trump imposed tariffs as high as 145% against China only to scale them back after stock, bond and currency markets revolted over the sweeping nature of the levies. China has responded with its own tariffs and is leveraging its dominance in key supply chains to persuade Trump to back down.

Trump and Chinese President Xi Jinping are expected to talk this week, White House spokeswoman Karoline Leavitt told reporters on Tuesday, and the export ban is expected to be high on the agenda.

“I can assure you that the administration is actively monitoring China’s compliance with the Geneva trade agreement,” she said. “Our administration officials continue to be engaged in correspondence with their Chinese counterparts.”

Trump has previously signaled that China’s slow pace of easing the critical mineral export ban represents a violation of the Geneva agreement.

Shipments of the magnets, essential for assembling everything from cars and drones to robots and missiles, have been halted at many Chinese ports while the Chinese government drafts a new regulatory system. Once in place, the new system could permanently prevent supplies from reaching certain companies, including American military contractors.

The suspension has triggered anxiety in corporate boardrooms and nations’ capitals – from Tokyo to Washington – as officials scrambled to identify limited alternative options amid fears that production of new automobiles and other items could grind to a halt by summer’s end.

“If the situation is not changed quickly, production delays and even production outages can no longer be ruled out,” Hildegard Mueller, head of Germany’s auto lobby, told Reuters on Tuesday.

Frank Fannon, a minerals industry consultant and former U.S. assistant secretary of state for energy resources during Trump’s first term, said the global disruptions are not shocking to those paying attention.

“I don’t think anyone should be surprised how this is playing out. We have a production challenge (in the U.S.) and we need to leverage our whole of government approach to secure resources and ramp up domestic capability as soon as possible. The time horizon to do this was yesterday,” Fannon.

Diplomats, automakers and other executives from India, Japan and Europe were urgently seeking meetings with Beijing officials to push for faster approval of rare earth magnet exports, sources told Reuters, as shortages threatened to halt global supply chains.

A business delegation from Japan will visit Beijing in early June to meet the Ministry of Commerce over the curbs and European diplomats from countries with big auto industries have also sought “emergency” meetings with Chinese officials in recent weeks, Reuters reported.

India, where Bajaj Auto warned that any further delays in securing the supply of rare earth magnets from China could “seriously impact” electric vehicle production, is organizing a trip for auto executives in the next two to three weeks.

In May, the head of the trade group representing General Motors, Toyota, Volkswagen, Hyundai and other major automakers raised similar concerns in a letter to the Trump administration.

“Without reliable access to these elements and magnets, automotive suppliers will be unable to produce critical automotive components, including automatic transmissions, throttle bodies, alternators, various motors, sensors, seat belts, speakers, lights, motors, power steering, and cameras,” the Alliance for Automotive Innovation wrote in the letter.

Reporting By Jarrett Renshaw; additional reporting by Ernest Scheyder in Washington; editing by Chris Sanders and Marguerita Choy

https://www.reuters.com/business/aut…ld-2025-06-03/

mau cari alternatif butuh waktu bertahun tahun, apa industri bisa nunggu selama itu emoticon-Traveller

Sialan lu Med!!

MUQADIMMAH

Tak perlu perkenalan karena kalian semua mengenal gw dg baik dan benar melalui tulisan sebelumnya.
Gw tengah mencoba menulis kisah lain, mungkin akan kembali berakhir tawa.

Rules
1. Gw gak pernah salah
2. Jika gw salah maka kembali ke pasal 1
3. Ikuti aturan H2H
4. Jangan pernah menghakimi hidup gw, lu gak kenal gw, lu kenal gw hanya dalam tulisan. Berani menghakimi gw, gw hakimi balik lu!
5. Tangapi thread ini dg santai, akan banyak konten dewasa, rasis, kriminal dan brutal.
6. yg paling penting, tanamkan ini di otak kecil kalian. Slametfirmansy4 adalah kaskuser paling tampan sejagat kaskus.

no basa-basi

“Apa film favorit mu??” tanyaku.

Ia menatapku sejenak, terkekeh, “Kau tahu pertanyaan mu itu mustahil untuk dijawab” masih saja ia terkekeh menggoda.

Ku putuskan untuk mengganti pertanyaan, “Ada hal yang belum terwujud selama hidup??”

“Sudah, kau mau tahu??”

Aku anggukkan kepala sebagai tanda bahwa aku memang ingin tahu. Tapi yang ia lakukan hanya menatap lekat mataku dengan senyumnya. Kuharap aku mengerti makna dari bahasa matanya, tapi sayangnya aku terlalu bodoh.

“Aku juga punya keinginan yang belum terwujud,” ucapku kesal dengan kebodohan diri ini.

Ia hisap rokok dengan begitu dalam, “Apa itu?”

Segera ku jawab dengan senyum. “Aku ingin pukul kepala orang”

Sontak, ia terbatuk mendengar jawabanku. “Hal terbaik apa yang pernah kau curi??” Tiba-tiba saja ia mengganti dengan pertanyaan konyol.

Tapi tiap lemparan pertanyaan konyol darinya selalu memiliki maksud tersendiri. Seolah tiap jawaban yang keluar dariku bisa menjadi bahan untuk memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya.

Tulisan ini hanya ditujukan kepada manusia gila dan tak waras. Jika anda sebagai pembaca merasa normal, segera tutup dan ganti bacaan lain. Akan ada banyak hal vulgar, rasis, dan kriminal serta kata-kata yang sangat tidak pantas didengar oleh khalayak umum dalam tulisan ini.

Tak perlu dituliskan hal bodoh semacam ‘tak patut ditiru’ karena saya sebagai penulis tahu benar bahwa para pembaca memiliki kapasitas pemikiran yang bisa dipertanggungjawabkan.

Salam dari sang penulis.

Based on true story.

*Walau ada bumbu sana-sini untuk pelengkap, tetapi tak mengubah jalan cerita sama sekali.

” Aku mulai berpikir, mungkin akan ku curi sesuatu darimu” jawabku.

Polling
0 suara
tokoh kaporit?