Saya percaya bahwa menjadi seorang bapak lebih dari sekadar mencari nafkah. Menjadi bapak adalah tentang kehadiran, benar-benar hadir, dalam kehidupan anak, baik secara fisik, emosional, maupun psikologis. Seringkali kita, bapak-bapak di Indonesia terjebak dalam pengkotakan peran. Bahwa tugas bapak adalah mencari uang, sedangkan tugas ibu di dapur. Bahwa tugas bapak adalah menjadi pemimpin, sedangkan ibu membesarkan anak.
Nyatanya, pembagian tugas orang tua itu tidak se-saklek itu. Dan inilah yang membuat saya cukup sedih, ketika melihat data BKKBN yang menyebutkan bahwa sekitar 80% anak di Indonesia kehilangan figur ayah. Kehilangan disini bukan berarti figur ayah hilang karena faktor biologis atau perceraian saja, melainkan juga karena figur ayah yang ada di rumah tidak pernah benar-benar hadir dalam kehidupan anak-anaknya.
Figur ayah yang hadir secara fisik, tetapi absen secara emosional, sebenarnya tetap menimbulkan luka yang dalam bagi perkembangan anak. Anak-anak membutuhkan lebih dari sekadar nafkah; mereka membutuhkan pelukan hangat ayah, telinga yang mendengarkan cerita-cerita kecil mereka, serta dukungan saat mereka mencoba dan gagal. Kehadiran ayah di momen-momen sederhana, seperti membantu PR, bermain di sore hari, atau hanya menemani makan malam, mempunyai dampak jangka panjang terhadap rasa percaya diri dan kestabilan emosional anak.
Penelitian juga menunjukkan bahwa keterlibatan ayah sejak dini dapat menurunkan risiko anak mengalami gangguan perilaku, meningkatkan prestasi akademik, serta membentuk kepribadian yang lebih matang. Seorang anak yang tumbuh dengan ayah yang terlibat dalam kehidupannya, cenderung memiliki hubungan sosial yang lebih sehat dan lebih mampu mengelola emosi.
Menjadi ayah memang tidak datang dengan buku panduan. Kita belajar sambil berjalan. Namun, itu bukan alasan untuk menjauh. Justru, tantangan itu adalah panggilan untuk lebih hadir, untuk membuka hati, dan membangun relasi yang bermakna dengan anak-anak kita. Karena suatu saat nanti, bukan seberapa banyak uang yang kita hasilkan yang akan diingat oleh anak-anak, tapi seberapa banyak waktu dan cinta yang kita berikan.
Maka, mari kita ubah paradigma. Menjadi ayah bukan hanya soal tanggung jawab finansial, tapi juga tanggung jawab emosional. Hadir bukan berarti harus sempurna, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa mereka dicintai, didengar, dan dihargai.