Yang satu tenang, seperti air danau yang tak terusik. Yang satu liar, seperti arus sungai yang tak pernah diam. Satu tumbuh dengan kepala penuh pertanyaan. Satu tumbuh dengan kaki yang tak mau diam di tempat.
Dunia menyebut mereka “kembar”, tapi dunia juga yang pertama kali memecah kaca itu. Membandingkan. Menimbang. Meninggikan satu, merendahkan yang lain.
Mereka tumbuh dengan nama yang hampir serupa, tapi dengan luka yang sangat berbeda. Fathan dan Farhan—dua nama yang tampak seperti pantulan, tapi sesungguhnya retak dari awal.
Ini bukan sekadar kisah tentang dua saudara. Ini adalah tentang pencarian jati diri di tengah bayangan yang selalu membuntuti. Tentang cinta yang datang untuk memilih, dan luka yang datang untuk menguji.
Dan tentang bagaimana, di tengah pecahan-pecahan cermin itu, mereka mencoba menemukan kembali satu hal yang tak pernah hilang: rumah.