Jangan Bertiga di Malam Hari

Jangan Bertiga di Malam Hari

Namaku Tegar, dan cerita ini terjadi saat aku masih duduk di bangku SMP kelas 3, sepuluh tahun lalu. Saat libur panjang, aku dan dua teman—Edi dan Wahyu—memutuskan berkemah di sebuah pondok tua milik Pak Cip, paman dari Edi, yang terletak di lereng hutan Gunung Kembar, Jawa Timur. Pondok itu sudah lama kosong, berdinding kayu, beratap seng berkarat, dan hanya ada satu sumur tua yang airnya berwarna kehijauan.

Dari awal, warga desa di bawah gunung sebenarnya sudah memberi peringatan. Katanya, “Jangan bertiga kalau mau bermalam di situ. Harus genap orangnya.” Tapi kami, anak kota yang sok rasional, hanya tertawa dan menganggap itu mitos kampungan.

Malam pertama kami lalui dengan obrolan dan tawa. Tapi ketika tengah malam tiba, sesuatu berubah.

Kami bertiga tidur dalam satu ruangan, berjejer dengan kantong tidur. Sekitar jam 2 dini hari, aku terbangun karena mendengar suara langkah pelan di luar pondok. Awalnya kukira itu Edi yang kebelet buang air. Tapi kulihat, Edi dan Wahyu masih tidur di sampingku. Lalu siapa?

Langkah itu berhenti di depan pintu.

“Tok… tok… tok…”

Suara ketukan lembut, tapi jelas. Aku diam, tak menjawab. Lalu terdengar suara pelan—bukan seperti suara orang dewasa, tapi lebih mirip… anak kecil.

“Bolehkah aku masuk? Aku ketinggalan…”

Seketika bulu kudukku berdiri. Aku mencoba membangunkan Edi dan Wahyu, tapi tubuh mereka kaku, mata mereka terbuka tapi tidak sadar. Seperti patung hidup.

Tiba-tiba pintu terbuka sedikit, dan aku melihatnya: sosok anak kecil, sekitar lima tahun, kulitnya pucat seperti kertas, rambutnya tipis dan kusut, matanya kosong.

“Aku orang keempat… kalian perlu satu lagi… biar genap…”

Aku berteriak sekuat tenaga, dan entah bagaimana, suara itu membangunkan dua temanku. Mereka langsung melihat ke arah pintu—tapi sosok itu sudah menghilang. Yang tertinggal hanya jejak kaki basah dari luar ke dalam.

Kami langsung berkemas dan kabur dari pondok itu tanpa banyak bicara.

Beberapa hari kemudian, kami kembali ke desa untuk mengembalikan kunci pondok ke Pak Cip. Dia memandang kami lama, lalu berkata, “Dulu, pondok itu pernah dipakai sekelompok remaja juga. Bertiga. Salah satunya mati jatuh ke sumur malam hari. Kata warga, sampai sekarang, dia masih mencari ‘rombongan’ agar bisa pergi dengan tenang.”

Sejak saat itu, aku tak pernah meremehkan ucapan orang desa. Dan aku bersumpah tidak akan pernah bermalam bertiga di tempat asing lagi. Karena jika ada yang bilang harus genap—bukan karena takhayul. Tapi karena **yang ganjil akan selalu minta satu lagi.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *