Kopi Hitam di Ujung Senja

Kopi Hitam di Ujung Senja

Di sebuah warung kecil di pinggir pantai selatan, tinggal seorang lelaki tua bernama Pak Nurman. Warungnya sederhana—bangunan kayu beratap seng, meja-meja usang dari kayu jati bekas, dan aroma kopi hitam yang menyambut siapa saja yang mampir. Namun, warung itu selalu ramai menjelang senja, karena semua orang tahu, Pak Nurman bukan sekadar penjual kopi. Ia penjaga cerita.

Sudah tiga puluh tahun ia membuka warung itu. Dulu, ia adalah pelaut. Lautan luas dan badai bukan hal asing baginya. Ia pernah berlayar jauh, dari Sabang hingga Merauke, dari perairan timur hingga Samudra Hindia. Tapi suatu hari, badai besar menghantam kapal kargo yang ia tumpangi. Banyak temannya hilang. Ia selamat, tapi kehilangan gairah berlayar. Sejak itu, ia memutuskan tinggal di kampung pantai tempat ia lahir, dan membuka warung kopi kecil.

Setiap sore, saat langit mulai jingga, Pak Nurman menyeduh kopi hitam pekat dalam poci tanah liat, disajikan dengan gula aren cair dan camilan pisang goreng. Sambil menikmati kopi, ia bercerita pada siapa saja yang duduk di kursi panjang warungnya—tentang laut, tentang kehilangan, tentang cinta yang tak pernah sempat pulang.

Suatu hari, seorang pemuda bernama Tama datang. Ia tampak gelisah, membawa ransel besar dan wajah letih. Ia memesan kopi dan duduk sendirian. Tak seperti pelanggan lain, Tama tak banyak bicara. Tapi Pak Nurman cukup peka untuk tahu: anak muda ini sedang membawa beban yang berat.

“Pertama kali ke sini?” tanya Pak Nurman.

Tama mengangguk. “Saya lagi cari arah, Pak.”

Pak Nurman tersenyum. “Arah bukan dicari. Kadang cukup duduk tenang dan biarkan angin menunjukkan jalan.”

Sejak hari itu, Tama sering datang. Ia membantu di warung, membersihkan meja, menggoreng pisang, bahkan mulai belajar menyeduh kopi dari Pak Nurman. Perlahan, ia mulai membuka diri. Ternyata, Tama adalah mahasiswa dropout yang lari dari tekanan keluarga. Ayahnya ingin ia jadi insinyur, sementara Tama ingin jadi penulis.

“Tapi siapa yang mau baca cerita saya, Pak? Saya bahkan belum pernah menyelesaikan satu pun.”

Pak Nurman hanya menyeduh kopi dan berkata, “Kopi ini pun butuh waktu mendidih sebelum harum dan siap dinikmati. Tulisanmu juga. Jangan buru-buru.”

Suatu sore, badai datang. Hujan deras mengguyur pantai, warung hampir roboh. Tapi di tengah derasnya hujan, Tama berlari menyelamatkan poci tanah liat milik Pak Nurman.

“Ini warisan Bapak dari istri saya,” kata Pak Nurman pelan, memandangi poci itu seperti memandangi kenangan.

Hari berganti bulan. Tama mulai menulis di pojok warung. Cerita-ceritanya terinspirasi dari kisah-kisah Pak Nurman: tentang pelaut yang kehilangan arah, tentang gadis penjual ikan yang mencintai laut, tentang warung kopi di ujung senja. Suatu hari, cerpennya dimuat di majalah sastra nasional. Ia pulang dengan mata berbinar dan menunjukkan nama penanya: **T. Nurman**.

Pak Nurman tertawa. “Kau pakai nama Bapak?”

“Tanpa Bapak, saya nggak akan nemu cerita saya sendiri.”

Musim berganti. Warung kopi itu kini dikenal bukan hanya karena rasa kopinya, tapi karena cerita yang lahir dari dalamnya. Anak-anak muda datang bukan cuma untuk menyeruput kopi, tapi juga mencari arah. Tama kini membuka perpustakaan kecil di sebelah warung, mengajari anak-anak kampung menulis.

Pak Nurman duduk di kursi tua, menatap senja, menyeruput kopinya perlahan. Di langit, cahaya jingga menari. Ia tahu, hidupnya tak sia-sia. Di ujung senja, ia tidak hanya menjual kopi. Ia mewariskan semangat, kenangan, dan cerita.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *