Iran Tembak Jatuh 3 Pesawat Siluman F-35 Israel, Pertama di Dunia!

Quote:

https://www.google.com/url?sa=t&sour…K3iFsNSOqCVCOo

Operasi Sindoor India vs Pakistan

Jenderal India: kerugian adalah bagian dari pertempuranemoticon-Cool

emoticon-Big Grinemoticon-Big Grinemoticon-Big Grinemoticon-Big Grinemoticon-Big Grin

Gampang bener jenderal prindavan klo ngomongemoticon-Leh Uga


Huawei Pura 80 Ultra Dibongkar, Hasilnya Mengejutkan & Memukau

Huawei Pura 80 Ultra Teardown Turns Brutal to Reveal Complex Dual-Telephoto System

by Kamlesh Bhati
June 15, 2025

In a bold and much-anticipated livestream, renowned tech repair expert Yang Changshun carried out the internet’s first teardown of the Huawei Pura 80 Ultra, instantly capturing the attention of tech enthusiasts across the web.

Huawei Pura 80 Ultra Disassembling Telephoto (video created by Yang Changshun, and re-uploaded for better experience)

This wasn’t your average disassembly. Huawei’s latest flagship proved exceptionally difficult to crack open, with its telephoto module — so much so that Yang resorted to a rotary electric cutter to breach its ultra-reinforced chassis. Despite the use of force and determination, the teardown spanned close to an hour, with Yang at one point exclaiming in frustration, “I can’t cut it at all!”

At the heart of the Pura 80 Ultra lies its standout innovation — a single sensor powering two periscope telephoto lenses. Once the device was pried open, the internal layout revealed a stunningly intricate gear mechanism that more closely resembled fine art than smartphone hardware. Yang provided a close-up look at how Huawei’s dual-telephoto architecture operates.
[ul][li]Huawei Pura 80 Ultra Dibongkar, Hasilnya Mengejutkan & Memukau[/li][/ul]
Huawei Pura 80 Ultra Teardown of telephoto camera

This groundbreaking imaging system blends a 3.7x medium telephoto with a 9.4x ultra-telephoto lens, both linked to a shared 1/1.28-inch sensor — currently the largest ever used for telephoto imaging in smartphones. It’s not just about hardware heft; Huawei introduced a micro-motor-driven dual optical path switching system comprising over 140 miniature components, including a dual-helix self-locking mechanism, to ensure seamless and stable switching between the two focal lengths.

Huawei’s official pricing pegs this lens module at 2,899 yuan — a figure equivalent to some standalone flagship devices. No surprise then, that company executive Richard Yu described it as the most expensive camera module Huawei has ever created. Yang’s teardown didn’t just pull back the curtain on Huawei’s craftsmanship — it showcased just how far smartphone engineering has come.

https://innogyan.in/2025/06/15/huawe…ephoto-system/

Perusahaan yg berkali kali lolos dari serangan Amerika, dan semakin kuat dari hari ke hari, what can’t kill you, make you strongeremoticon-army

Berapa Lama Idealnya Masa Pakai Smartphone Agar Tetap Nyaman?

Pertanyaan ini sangat sering muncul, dan jawaban paling jujurnya bagi saya adalah relatif. Tapi menurut saya, ada empat faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap umur nyaman sebuah smartphone, yaitu dukungan update OS, kualitas build, chipset, dan cara pakai penggunanya.
Untuk penjelasan lengkapnya saya uraikan dibawah ini:
1. Dukungan Update OS

Berapa Lama Idealnya Masa Pakai Smartphone Agar Tetap Nyaman?

Tanpa update sistem dan keamanan, penggunaan smartphone jadi terbatas. Aplikasi bisa saja tiba-tiba tidak bisa digunakan, bug makin sering, dan risiko keamanan meningkat, endingnya makin tidak nyaman digunakan. 
Jadi saat membeli smartphone, jangan cuma lihat spesifikasi dan harga, perhatikan juga berapa lama jaminan update diberikan. Misalnya, Infinix Note 50S 5G+ dapat update hingga Android 17, sedangkan Samsung Galaxy A16 5G dijanjikan sampai Android 20. Secara fitur memang lebih kaya Infinix Note 50S 5G+, tapi secara daya guna lebih lama Samsung Galaxy A16 5G. Pilihan terbaik? tergantung kebutuhan. Lebih butuh performa atau masa pakai yang lebih panjang.
2. Kualitas Build dan Komponen

Banyak yang meremehkan hal ini, padahal pengaruhnya besar. Material bodi, perlindungan air dan debu, hingga sistem pendingin semua punya dampak terhadap keawetan smartphone. Sebagus apapun performa dan fitur yang ditawarkan, kalau sistem pendinginnya buruk, maka resiko kerusakan pun jadi tinggi. Alasan utamanya karena suhu tinggi dapat mengganggu komponen internal smartphone sehingga mudah rusak. Hal itu juga berlaku pada kualitas build yang lain. 
Misalnya smartphone yang sudah lolos standar MIL-STD 810H jelas jauh lebih awet digunakan oleh pengguna yang punya hobi ekstrim atau orang tua yang punya anak kecil. Selain merusak bodi luar, benturan, kelembaban, dan faktor eksternal lain juga berpengaruh terhadap internal dari smartphone. Jadi dengan jaminan standar-standar semacam ini, smartphone cenderung lebih awet digunakan. 
3. Chipset

Chipset adalah otaknya smartphone. Makin tinggi kelasnya, makin efisien kinerjanya, makin awet juga perangkatnya. 
Saya beri contoh ekstrim. Misalnya vivo X200 Pro yang ditenagai chipset flagship MediaTek Dimensity 9400, menggunakan fabrikasi 3nm yang punya kemampuan manajemen daya jauh lebih efisien dibandingkan itel Power 70 yang memakai Helio G50 Ultimate. Meskipun kapasitas baterainya sama-sama 6000 mAh, lama baterai bertahan bisa sangat berbeda. 
Dalam jangka panjang, hal ini juga berpengaruh terhadap umur baterai. 
4. Pola Penggunaan

Berapa Lama Idealnya Masa Pakai Smartphone Agar Tetap Nyaman?

Ini dia faktor yang paling menentukan. Pemakaian berlebihan, tidak pernah dimatikan, atau digunakan untuk bermain game berat sambil mengisi daya, semuanya bisa mempercepat kerusakan. Kadang bukan smartphone-nya yang jelek, tapi cara pakainya yang tidak bijak.
Sayangnya, diakui atau tidak, pola penggunaan sering diabaikan oleh kebanyakan pengguna. Bahkan beberapa dari mereka lebih memilih menyalahkan merek smartphonenya atau jenis chip yang digunakan dibandingkan cara penggunaan mereka yang jelas-jelas salah. 
Kembali ke pertanyaan awal. Jadi, Berapa Tahun yang paling Ideal?

Menurut saya, tiga sampai lima tahun adalah masa pakai yang paling pas. Jaminan update biasanya berlangsung dua hingga tiga tahun, dan dua tahun setelahnya masih nyaman digunakan selama smartphone dirawat dengan baik. Walaupun saya pribadi bisa saja ganti perangkat setiap tahun, tapi dari sisi finansialseseorang yang masih mendang-mending, saya sasa itu bukan keputusan yang bijak.
Pada akhirnya, nyaman atau tidaknya sebuah smartphone dipakai sangat tergantung pada keseimbangan antara kebutuhan, ekspektasi, dan cara merawatnya.Kalau masih memenuhi semuanya, kenapa harus buru-buru ganti?
Kalau gan dan sis biasanya pakai smartphone sampai berapa tahun? Yuk sharing di kolom komentar.

Anggota DPR dari Demokrat Ditembak Mati, Polisi Temukan 70 Target Lain

 Anggota DPR dari Demokrat Ditembak Mati, Polisi Temukan 70 Target Lain

Jakarta, CNBC Indonesia– Seorang pria bersenjata yang menyamar sebagai petugas polisi membunuh seorang anggota DPR Negara Bagian Minnesota dari Partai Demokrat, Melissa Hortman, dan suaminya pada Sabtu (14/6/2025) waktu setempat dalam serangan yang diduga sebagai aksi pembunuhan bermotif politik. Serangan itu juga melukai seorang senator negara bagian lainnya, John Hoffman, serta istrinya.
Gubernur Minnesota Tim Walz menyebut insiden ini sebagai “tindakan kekerasan politik yang ditargetkan.” Pihak kepolisian dan FBI tengah memburu tersangka yang diketahui bernama Vance Luther Boelter (57), yang melarikan diri dengan berjalan kaki setelah melepaskan tembakan ke arah polisi dan meninggalkan kendaraan berisi dokumen penting.
Dalam konferensi pers, Kepala Biro Investigasi Kriminal Minnesota (BCA), Drew Evans, mengungkapkan bahwa kendaraan pelaku yang menyerupai mobil polisi berisi “manifesto” serta daftar lebih dari 70 nama, termasuk penyedia layanan aborsi dan pejabat publik dari Minnesota maupun negara bagian lain. 

Menurut laporan CNN dan ABC News, daftar tersebut memuat nama-nama pejabat Demokrat terkemuka, seperti Gubernur Tim Walz, Anggota DPR Ilhan Omar, Senator Tina Smith, dan Jaksa Agung Minnesota Keith Ellison.
Evans menyebut Boelter sebagai orang yang “bersenjata dan berbahaya”, serta diyakini masih berada di wilayah Minneapolis-St. Paul.
“Masih terlalu dini untuk menentukan motif pasti, namun indikasi yang kami temukan mengarah pada kekerasan bermotif politik,” jelasnya, dilansir Reuters.
Catatan publik dan unggahan online menunjukkan bahwa Boelter memiliki keterkaitan dengan beberapa organisasi keagamaan evangelis dan mengklaim dirinya sebagai pakar keamanan dengan pengalaman di Jalur Gaza dan Afrika. Ia juga mengaku pernah bekerja di sejumlah perusahaan layanan makanan.
Pihak kepolisian masih menelusuri semua jejak digital dan koneksi pelaku, termasuk kemungkinan keterkaitan dengan gerakan “No Kings” yang melakukan protes nasional terhadap kebijakan mantan Presiden Donald Trump.
Kendati demikian, Kepala Patroli Negara Bagian Minnesota, Kolonel Christina Bogojevic, menegaskan bahwa pelaku tidak memiliki kaitan langsung dengan unjuk rasa tersebut. 

Dua Serangan dalam Satu Malam
Gubernur Walz mengatakan bahwa penyerang pertama kali menyatroni rumah Senator John Hoffman di Champlin sekitar pukul 02.00 dini hari. Hoffman dan istrinya ditembak beberapa kali dan kini sedang menjalani perawatan pascaoperasi. Walz menyatakan harapannya bahwa keduanya dapat selamat dari “percobaan pembunuhan” tersebut.
Beberapa jam kemudian, pelaku melanjutkan aksinya ke rumah Hortman dan suaminya, Mark, di Brooklyn Park, hanya sekitar delapan kilometer dari lokasi pertama. Polisi yang tiba di lokasi melihat seseorang yang mengenakan seragam polisi lengkap – rompi, taser, lencana – keluar dari rumah korban dan langsung menembaki petugas.
Pelaku sempat terlibat baku tembak dan melarikan diri ke dalam rumah sebelum akhirnya kabur meninggalkan tempat kejadian.
Kepala Kepolisian Brooklyn Park, Mark Bruley, mengungkapkan bahwa tindakan cepat seorang sersan polisi yang menduga keterkaitan antara dua lokasi membuat petugas segera melakukan pengecekan ke rumah Hortman, yang kemungkinan mencegah jatuhnya korban tambahan.

Peringatan Ancaman Politik
FBI menyebut serangan ini sebagai “serangan sengaja dan brutal terhadap para pelayan publik dan keluarga mereka,” dan menawarkan hadiah hingga US$50.000 bagi siapapun yang memberikan informasi yang mengarah pada penangkapan pelaku.
Presiden Donald Trump dalam pernyataannya menyebut insiden ini sebagai “penembakan yang mengerikan.” “Kekerasan seperti ini tidak akan ditoleransi di Amerika Serikat. Tuhan memberkati rakyat hebat Minnesota,” tulisnya.
Tragedi ini menambah daftar panjang kekerasan bermotif politik di AS dalam beberapa tahun terakhir. Mulai dari upaya penculikan Gubernur Michigan Gretchen Whitmer pada 2020, hingga percobaan pembunuhan terhadap Donald Trump saat kampanye di Pennsylvania tahun lalu.
Kekhawatiran terhadap polarisasi politik yang makin ekstrem semakin meningkat. Seruan untuk menahan diri dan menurunkan eskalasi retorika politik datang dari berbagai pihak, baik dari kalangan Demokrat maupun Republik.
“Diskursus damai adalah fondasi demokrasi kita. Kita tidak menyelesaikan perbedaan dengan kekerasan atau senjata api,” tegas Gubernur Walz.

ditembak

Quote:

gila kekerasan politik semakin menjadi emoticon-Matabelo

Pakis dan Suplir, Duo Tanaman yang Selalu Tumbuh Subur di Tempat Lembab.

Pakis dan Suplir, Duo Tanaman yang Selalu Tumbuh Subur di Tempat Lembab.

Sebagai seseorang yang lahir di pedesaan dan tumbuh di lingkungan yang masih umum menggunakan sumur, ada satu kesamaan yang selalu saya temui. Yaitu tumbuhnya pakis dan suplir di sekitaran sumur. 
Walaupun tanaman tersebut banyak diperjual belikan dan dianggap sebagai tanaman hias di kota, pakis dan suplir seringkali dianggap sebagai tanaman yang mengganggu. Indah? Memang. Saya akhirnya bisa mengagumi keindahannya setelah merantau, dan melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang sama sekali berbeda. 
Tapi bagi orang-orang di desa saya, kedua jenis tanaman ini tetap dianggap sebagai rumput, sehingga kalau mulai banyak tumbuh ya dibabati. Tapi kali ini saya tidak akan membahas tentang mengapa orang desa saya tetap tidak bisa melihat tanaman ini sebagai tanaman hias, melainkan fokus pada mengapa kedua tanaman ini selalu bisa muncul tiba-tiba di tempat lembab. 
Jawabannya ternyata berakar pada bagaimana cara hidup pakis dan suplir yang unik, dan betapa cocoknya mereka dengan kondisi lembab yang ada di sekitar sumur atau tempat-tempat teduh lainnya di pedesaan.
Pakis dan suplir adalah jenis tumbuhan paku (Pteridophyta), yang berkembang biak menggunakan spora, bukan biji. Spora-spora ini sangat kecil, ringan, dan bisa terbawa angin atau air ke berbagai tempat. Biasanya kita dapat melihat spora mereka dibalik daun tua, dengan warna coklat tua yang ketika disentuh terasa seperti serbuk kayu halus. 
Nah, ketika spora ini mendarat di tempat yang lembab, misalnya dinding sumur yang selalu basah atau di pinggiran sungai, mereka menemukan tempat ideal untuk tumbuh. Kelembaban adalah kunci utama bagi spora ini untuk berkecambah dan berubah menjadi tumbuhan kecil yang kemudian berkembang menjadi pakis atau suplir dewasa.
Selain itu, pakis dan suplir memang menyukai tempat yang tidak terlalu terang. Di kota, orang dengan sengaja menaruhnya di pojok ruangan atau taman yang rindang supaya bisa bertahan hidup. Tapi di desa, lingkungan alami sudah menyediakan semua yang mereka butuhkan: kelembaban, keteduhan, dan tanah yang tidak terlalu padat. Bahkan dinding bata yang terus-menerus basah sudah cukup sebagai media bagi suplir untuk hidup.
Pakis dan Suplir, Duo Tanaman yang Selalu Tumbuh Subur di Tempat Lembab.

Lucunya, saya pernah mencoba menumbuhkan spora suplir dengan melarutkan spora mereka dalam air dan menyiramkannya ke media imitasi yang lembab. Setelah berbulan-bulan menunggu, alih-alih tumbuh di media yang saya sediakan, tanaman suplir baru justru muncul di bebatuan di bawah tanaman suplir saya yang asli. Benar-benar dikerjain oleh alam. Hahaha…

Menariknya lagi, keberadaan mereka juga bisa jadi semacam indikator alami. Jika pakis atau suplir mulai tumbuh subur di suatu tempat, besar kemungkinan area tersebut punya kelembaban tinggi dan minim cahaya matahari langsung. Ini bisa jadi petunjuk tak langsung tentang karakteristik mikroklimat di daerah itu. 
Bagi orang-orang yang sensitif terhadap kelembaban atau memiliki daya tahan tubuh rendah akibat paparan jamur hitam (black mold), tumbuh suburnya suplir liar dapat menjadi indikator awal adanya kelembaban berlebih di dalam rumah. Meskipun tidak bisa dijadikan indikator utama, karena tingkat kelembaban dalam rumah juga sangat dipengaruhi oleh sistem ventilasi dan intensitas cahaya matahari yang masuk, setidaknya keberadaan suplir dapat membantu mengenali potensi masalah sejak dini.
Saya jadi berpikir, barangkali ini juga semacam pengingat bahwa sesuatu yang dianggap “liar” atau “mengganggu”bisa jadi punya sisi lain yang bermanfaat, kalau kita mau melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. 

Hanya Berjarak 45 Meter, Jet Tempur J-15 China Pepet Pesawat Patroli P-3C Jepang

Quote:

Insiden yang melibatkan Jepang dan China kembali terjadi, kali ini sebuah jet tempur J-15 dari kapal induk Shandong membuntuti pesawat patroli maritim P-3C milik JMSDF (Pasukan Beladiri Maritim Jepang) selama sekitar 40 menit dari pukul 10:30 hingga 11:00 pada tanggal 7 Juni. Kejadian itu disampaikan oleh Kementerian Pertahanan Jepang pada 11 Juni 2025.

Menurut kementerian tersebut, selama 40 menit jet tempur J-15 melakukan pendekatan yang tidak biasa terhadap pesawat patroli P-3C Orion, dengan jarak horizontal hanya sekitar 45 meter tanpa perbedaan ketinggian. Saat kejadian yang dimaksud, P-3C Orion Jepang sedang melakukan patroli pengawasan di laut lepas Samudera Pasifik.

Menurut Kementerian Pertahanan Jepang, tercatat dua kali J-15 terbang di dekat pesawat patroli JMSDF Gan. Pada kejadian kedua, pesawat tempur J-15 yang berbasis di kapal induk Shandong melintas sekitar 900 m di depan pesawat patroli P-3C tanpa perbedaan ketinggian selama sekitar 80 menit dari pukul 14.00 hingga 15.00 pada tanggal 8 Juni 2025.

“Karena pendekatan yang tidak biasa oleh pesawat militer China tersebut berpotensi menyebabkan tabrakan yang tidak disengaja, kami menyatakan keprihatinan yang serius dan meminta agar insiden ini tidak terulang,” kata Kementerian Pertahanan Jepang dalam siaran pers pada tanggal 11 Juni 2025.

Tidak ada kerusakan yang terjadi pada pesawat atau personel yang terluka saat jet tempur China tersebut terbang di dekat P-3C. Sementara itu, Naval Newsmengatakan joka, seorang juru bicara Kantor Staf Gabungan Kementerian Pertahanan Jepang menolak mengkonfirmasi kepada mereka; apakah J-15 yang sama terlibat dalam kedua insiden tersebut ?

Quote:

Menurut catatan Naval News, terakhir kali jet tempur China berhadapan langsung dengan pesawat Jepang adalah pada bulan Mei dan Juni 2014, ketika itu jet tempur Su-27 China terbang sangat dekat dengan pesawat Jepang yang sedang bertugas melakukan pengawasan di Laut China Timur. Pemerintah Jepang kemudian mengajukan protes terhadap China setelah insiden tersebut.

Di masa lalu, ada banyak kasus di mana pesawat militer China melakukan pendekatan yang disebut Amerika dan Jepang tidak normal terhadap pesawat militer mereka yang terbang di atas Laut China Timur dan Laut China Selatan.

Misalnya, pada tanggal 1 April 2001, sebuah jet tempur J-8II milik Angkatan Laut China mendekati dan bertabrakan dengan sebuah pesawat intelijen sinyal EP-3 milik Angkatan Laut AS yang tengah mengumpulkan intelijen di lepas pantai Pulau Hainan, yang menyebabkan pesawat China tersebut jatuh. Hal ini sempat meningkatkan ketegangan dalam hubungan AS-China.

Dua tahun lalu sebuah jet tempur China terbang dalam jarak 3 meter dari sebuah pesawat pengebom AS di atas Laut China Selatan pada tanggal 24 Oktober 2023. Sebuah manuver yang disebut “tidak aman dan “tidak profesional” menjadi semakin berisiko karena terjadi pada malam hari, kata Komando Indo-Pasifik AS dalam siaran pers dua hari kemudian.

Quote:

Sebelumnya, pihak Jepang juga telah melaporkan adanya aktifitas dua kapal induk China secara bersamaan di kawasan Pasifik barat pada 8 Juni 2025. Ini merupakan pertama kalinya, dua kapal induk China, Shandong dan Liaoning, berlayar bersama di lokasi yang jauh di luar kawasan Laut China Selatan.

Sebagai informasi bagi Agan, China sendiri semakin aktif mengirim kapal perangnya menjelajah kawasan Pasifik. Hal ini menjadi semacam tindakan balasan kepada Amerika yang juga sering melakukan hal yang serupa di kawasan yang dekat dengan wilayah China. Dengan begitu, maka pertemuan antara pesawat militer China dengan pesawat militer Amerika dan sekutunya akan lebih sering terjadi di masa mendatang,

Referensi Tulisan: Naval News
Sumber Foto: sudah tertera

Mengapa Manusia Berkembang Berbeda Meski Dibesarkan dalam Lingkungan yang Sama?

Manusia adalah makhluk kompleks yang tidak dapat diprediksi sepenuhnya, bahkan ketika dibesarkan dalam keluarga yang penuh kasih sayang dan disiplin. Faktanya, banyak anak yang tumbuh dalam lingkungan serupa justru menunjukkan kepribadian, minat, dan bahkan masalah psikologis yang berbeda. Fenomena ini membuktikan bahwa perkembangan manusia tidak hanya dipengaruhi oleh pola asuh, tetapi juga oleh faktor genetik, pengalaman unik, dan interaksi dengan dunia luar.

Contoh Kasus: Kembar Identik dengan Nasib Berbeda
Salah satu contoh menarik adalah kasus kembar identik yang dipisahkan sejak lahir dan dibesarkan dalam keluarga berbeda, namun tetap menunjukkan kesamaan perilaku mencolok. Namun, ada juga kasus kembar yang dibesarkan bersama, tetapi satu anak mengembangkan gangguan kecemasan, sementara yang lain tumbuh lebih stabil. Studi oleh Plomin et al. (2016) dalam Behavioral Genetics menunjukkan bahwa meski gen berperan besar, pengalaman traumatis atau tekanan sosial dapat memicu gangguan mental pada satu individu, sementara saudaranya tetap resilien.

Peran Interaksi Genetik dan Lingkungan
Menurut teori diathesis-stress (Zuckerman, 1999), kerentanan genetik (diathesis) berinteraksi dengan stres lingkungan untuk memicu gangguan psikologis. Misalnya, dua anak yang dibesarkan dengan disiplin ketat mungkin merespons berbeda: satu menjadi lebih teratur, sementara yang lain memberontak karena merasa tertekan. Buku The Orchid and the Dandelion (Boyce, 2019) menjelaskan bagaimana anak-anak “anggrek” lebih sensitif terhadap lingkungan, sementara anak-anak “dandelion” lebih adaptif.

Peran Pengalaman Unik dan Trauma Tersembunyi

Meskipun dibesarkan dalam keluarga yang stabil, setiap anak mengalami peristiwa hidup yang unik—seperti bullying di sekolah, persepsi terhadap perlakuan orang tua, atau bahkan interpretasi subjektif terhadap suatu kejadian. Seorang anak mungkin mengembangkan kecemasan setelah mengalami perundungan yang disembunyikan dari orang tuanya, sementara saudaranya tidak terpengaruh karena memiliki mekanisme koping yang berbeda. Penelitian dalam Journal of Child Psychology and Psychiatry (Rutter, 2012) menunjukkan bahwa pengalaman mikro-trauma yang tidak terlihat oleh orang tua dapat berdampak signifikan pada perkembangan psikologis anak.

Neurodiversitas: Otak yang Berbeda, Respons yang Berbeda

Setiap orang terlahir dengan susunan saraf yang unik, yang memengaruhi cara mereka memproses emosi, stres, dan hubungan sosial. Anak dengan ADHD atau spektrum autisme, misalnya, mungkin merespons disiplin dengan cara yang sangat berbeda dibandingkan saudara neurotipikalnya. Buku The Whole-Brain Child (Siegel & Bryson, 2011) menjelaskan bagaimana perbedaan neurologis dapat membuat anak-anak dalam keluarga yang sama berkembang dengan cara yang bertolak belakang, meskipun dididik dengan gaya pengasuhan yang identik.

Studi Kasus: Kelarga Harmonis dengan Anak yang Depresi

Sebuah studi kasus terkenal dari American Journal of Psychiatry (Kendler et al., 2015) mengamati dua saudara kandung yang dibesarkan dalam keluarga yang penuh kasih sayang. Salah satu anak didiagnosis depresi berat di usia remaja, sementara yang lain tumbuh dengan kesehatan mental yang stabil. Analisis mengungkapkan bahwa anak yang depresi memiliki sensitivitas genetik terhadap stres sosial, sementara saudaranya lebih resilien. Kasus ini memperkuat teori bahwa nature (genetika) dan nurture (lingkungan) berinteraksi secara kompleks dalam membentuk kepribadian dan kesehatan mental.

Pengaruh Teman Sebaya dan Lingkungan Sosial di Luar Keluarga

Meskipun keluarga adalah lingkungan utama pembentuk karakter, pengaruh teman sebaya dan lingkaran sosial sering kali justru lebih kuat, terutama pada masa remaja. Seorang anak mungkin terpapar nilai-nilai yang berbeda melalui pertemanannya, sementara saudaranya memilih jalur yang lebih sesuai dengan harapan orang tua. Penelitian Harris (1998) dalam buku The Nurture Assumption berargumen bahwa kelompok sebaya (peer group) bisa lebih berdampak pada kepribadian anak dibandingkan pola asuh orang tua. Misalnya, seorang anak yang bergaul dengan kelompok berprestasi mungkin termotivasi secara akademis, sementara saudaranya yang terlibat dalam pergaulan negatif justru menunjukkan perilaku menyimpang—meski keduanya dibesarkan dengan cara yang sama.

Media dan Budaya Pop: Pembentuk Identitas yang Tak Terduga

Di era digital, media sosial, film, musik, dan konten online berperan besar dalam membentuk persepsi diri dan nilai-nilai hidup. Dua anak dalam satu keluarga bisa mengembangkan pandangan dunia yang sangat berbeda berdasarkan konten yang mereka konsumsi. Sebuah studi di Pediatrics (2016) menemukan bahwa remaja yang terpapar konten depresif di media sosial memiliki risiko lebih tinggi mengalami gangguan mood, sementara saudaranya yang tidak terpapar tetap stabil. Contoh nyata adalah kasus seorang remaja yang mengidolakan figur tertentu di internet hingga mengadopsi nilai-nilai ekstrem, sementara saudaranya tidak terpengaruh karena minat yang berbeda.

Perbedaan Persepsi dalam Satu Keluarga: “Realitas” yang Berbeda-beda

Anak-anak dalam keluarga yang sama bisa memiliki pengalaman subjektif yang sangat berbeda tentang cara mereka dibesarkan. Salah satu anak mungkin menganggap orang tuanya penyayang dan adil, sementara anak lainnya merasa diperlakukan dengan keras atau tidak dianggap. Penelitian Aquilino (2001) dalam Journal of Marriage and Family menunjukkan bahwa persepsi anak terhadap pola asuh lebih berpengaruh pada perkembangan psikologisnya daripada niat sebenarnya dari orang tua. Misalnya, seorang anak yang merasa “terabaikan” karena orang tua lebih fokus pada kakaknya yang berprestasi bisa mengembangkan rasa tidak aman, sementara sang kakak justru tumbuh dengan percaya diri.

Kehendak Bebas: Ketika Pilihan Pribadi Mengalahkan Pengaruh Lingkungan

Meski faktor genetik dan lingkungan membentuk dasar kepribadian, manusia tetap memiliki agency—kemampuan untuk membuat pilihan sadar yang membentuk jalan hidupnya. Dua saudara bisa tumbuh dalam kondisi identik, tetapi mengambil keputusan berbeda yang mengarahkan mereka pada kehidupan yang bertolak belakang. Filsuf Jean-Paul Sartre menekankan bahwa “manusia dikutuk untuk bebas,” artinya kita harus bertanggung jawab atas pilihan kita, terlepas dari latar belakang. Contoh nyata adalah dua anak dari keluarga akademis; satu memilih karir di bidang sains seperti orang tuanya, sementara yang lain memberontak dan memilih jalan seni. Studi dalam Journal of Personality and Social Psychology (Roberts et al., 2006) menunjukkan bahwa kepribadian terus berubah seiring pilihan hidup, bahkan di usia dewasa.

Epigenetika: Bagaimana Lingkungan Mengubah Ekspresi Gen Tanpa Mengubah DNA

Tidak hanya gen dan lingkungan yang berinteraksi, tetapi pengalaman hidup bisa mengaktifkan atau menonaktifkan gen tertentu melalui proses epigenetika. Penelitian pada korban trauma (Yehuda et al., 2016) menemukan bahwa stres ekstrem dapat meninggalkan “tanda” kimiawi pada DNA, yang bahkan bisa diwariskan ke generasi berikutnya. Dalam konteks keluarga, ini menjelaskan mengapa seorang anak yang mengalami peristiwa traumatis (meski saudaranya tidak) bisa mengembangkan gangguan kecemasan, sementara saudaranya tetap stabil. Buku The Deepest Well (Burke Harris, 2018) memberikan contoh bagaimana dua anak dengan gen serupa merespons stres keluarga secara berbeda karena pengalaman unik mereka.

Kasus Ekstrem: Gangguan Kepribadian Meski Dibesarkan di Lingkungan Ideal

Beberapa gangguan mental, seperti skizofrenia atau gangguan kepribadian ambang (BPD), memiliki komponen biologis kuat yang bisa muncul terlepas dari pola asuh. Studi kasus dalam The British Journal of Psychiatry (2019) meneliti seorang anak dengan BPD yang dibesarkan dalam keluarga stabil dan penuh kasih, sementara saudara kembarnya normal. Peneliti menyimpulkan bahwa faktor neurobiologis dan mutasi genetik spontan berperan besar. Contoh lain adalah psikopat fungsional—individu dengan sifat antisosial tetapi berasal dari keluarga harmonis (lihat The Wisdom of Psychopaths oleh Dutton, 2012). Kasus-kasus ini membuktikan bahwa manusia bukan hanya produk lingkungan, tetapi juga kompleksitas biologis yang unik.

 

Peran Kebetulan dan Faktor Acak dalam Membentuk Perbedaan

Terkadang, perbedaan antara saudara kandung bisa berasal dari momen-momen kebetulan yang mengubah hidup secara tak terduga. Seorang anak mungkin bertemu dengan mentor yang menginspirasinya, sementara saudaranya mengalami kecelakaan kecil yang membuatnya takut mencoba hal baru. Penelitian dalam Psychological Science (Bandura, 1982) tentang “pengalaman kebetulan yang menentukan” (fortuitous determinants) menunjukkan bagaimana peristiwa acak—seperti pertemuan dengan orang tertentu atau kesempatan yang tidak terduga—dapat membentuk jalur hidup seseorang secara signifikan. Contoh nyata: dua bersaudara yang sama-sama berbakat musik, tetapi hanya satu yang diundang tampil di acara sekolah, membuka pintu untuk karier musiknya, sementara yang lain beralih ke bidang lain.

Memahami Perbedaan: Bukan tentang “Siapa yang Salah”, tapi tentang Keunikan Individu

Daripada membandingkan atau menyalahkan pola asuh, penting untuk menerima bahwa setiap manusia adalah kombinasi unik dari gen, pengalaman, dan pilihan. Psikolog Carl Rogers dalam teori client-centered therapy-nya menekankan bahwa setiap individu punya kecenderungan alami untuk berkembang sesuai dengan jalan mereka sendiri. Keluarga bisa menyediakan fondasi yang sama, tetapi hasil akhirnya akan selalu bervariasi. Studi dalam Developmental Psychology (Scarr & McCartney, 1983) memperkenalkan konsep niche-picking—anak-anak secara aktif memilih lingkungan yang sesuai dengan kecenderungan genetik mereka, sehingga memperbesar perbedaan dengan saudara kandung.

Merayakan Keunikan dalam Kesamaan

Pada akhirnya, fakta bahwa saudara kandung bisa tumbuh sangat berbeda justru menunjukkan keajaiban kompleksitas manusia. Daripada frustasi karena anak-anak tidak sesuai harapan, orang tua dan masyarakat bisa belajar menghargai keragaman ini. Buku The Myth of the Perfect Child (Levine, 2022) mengingatkan bahwa tujuan pengasuhan bukan menciptakan “produk jadi” yang seragam, tetapi mendukung setiap anak untuk berkembang sesuai potensi uniknya—meski itu berarti mereka mengambil jalan yang tak terduga. Dengan memahami interaksi rumit antara gen, lingkungan, dan kehendak bebas, kita bisa lebih bijak menyikapi perbedaan dan mengurangi stigma pada mereka yang mengalami gangguan psikologis meski dibesarkan dalam lingkungan “ideal”.

Referensi:

– Aquilino, W. S. (2001). Journal of Marriage and Family, 63(2), 493-508. https://doi.org/10.1111/j.1741-3737.2001.00493.x

– Bandura, A. (1982). The psychology of chance encounters and life paths. American Psychologist, 37(7), 747-755. https://doi.org/10.1037/0003-066X.37.7.747

– Boyce, W. T. (2019). The orchid and the dandelion: Why some children struggle and how all can thrive. Knopf.

– Burke Harris, N. (2018). The deepest well: Healing the long-term effects of childhood adversity. Houghton Mifflin Harcourt.

– Dutton, K. (2012). The wisdom of psychopaths: What saints, spies, and serial killers can teach us about success. Scientific American/Farrar, Straus and Giroux.

– Harris, J. R. (1998). The nurture assumption: Why children turn out the way they do. Free Press.

– Kendler, K. S., Ohlsson, H., Sundquist, J., & Sundquist, K. (2015). The rearing environment and risk for major depression: A Swedish national high-risk home-reared and adopted-away co-sibling control study. American Journal of Psychiatry, 172(7), 630-637. https://doi.org/10.1176/appi.ajp.2015.14040498

– Levine, M. (2022). The myth of the perfect child: Raising kids with character, resilience, and authenticity. Penguin Life.

– Plomin, R., DeFries, J. C., Knopik, V. S., & Neiderhiser, J. M. (2016). Behavioral genetics (7th ed.). Worth Publishers.

– Roberts, B. W., Walton, K. E., & Viechtbauer, W. (2006). Patterns of mean-level change in personality traits across the life course: A meta-analysis of longitudinal studies. Psychological Bulletin, 132(1), 1-25. https://doi.org/10.1037/0033-2909.132.1.1

– Royal Society for Public Health. (2017). #StatusOfMind: Social media and young people’s mental health and wellbeinghttps://www.rsph.org.uk/

– Rutter, M. (2012). Resilience as a dynamic concept. Development and Psychopathology, 24(2), 335-344. https://doi.org/10.1017/S0954579412000028

– Scarr, S., & McCartney, K. (1983). How people make their own environments: A theory of genotype → environment effects. Child Development, 54(2), 424-435. https://doi.org/10.2307/1129703

– Siegel, D. J., & Bryson, T. P. (2011). *The whole-brain child: 12 revolutionary strategies to nurture your child’s developing mind*. Delacorte Press.

– Yehuda, R., Daskalakis, N. P., Bierer, L. M., Bader, H. N., Klengel, T., Holsboer, F., & Binder, E. B. (2016). Holocaust exposure induced intergenerational effects on FKBP5 methylation. Biological Psychiatry, 80(5), 372-380. https://doi.org/10.1016/j.biopsych.2015.08.005

– Zuckerman, M. (1999). Vulnerability to psychopathology: A biosocial model. American Psychological Association. https://doi.org/10.1037/10316-000

Pengaruh Perilaku dan Karakter Manusia terhadap Game yang Dimainkan

Game atau permainan tidak hanya sekadar hiburan, tetapi juga cerminan dari perilaku dan karakter pemainnya. Setiap keputusan yang diambil dalam game, mulai dari pemilihan genre, strategi, hingga interaksi dengan pemain lain, dapat dipengaruhi oleh kepribadian, nilai moral, dan latar belakang psikologis individu. Studi menunjukkan bahwa preferensi seseorang terhadap jenis game tertentu—apakah itu game strategi, RPG, atau battle royale—dapat mengungkap banyak hal tentang sifat dan kebiasaannya dalam kehidupan nyata.

Hubungan Antara Kepribadian dan Genre Game

Menurut penelitian, orang dengan tipe kepribadian ekstrover cenderung menyukai game multiplayer yang melibatkan interaksi sosial, seperti Fortnite atau Among Us. Sementara itu, individu dengan sifat introver mungkin lebih nyaman bermain game single-player seperti The Legend of Zelda atau Stardew Valley yang memungkinkan eksplorasi mandiri. Sebuah studi dalam Journal of Personality and Social Psychology (2010) menemukan bahwa orang yang tinggi dalam trait openness to experience lebih tertarik pada game dengan narasi kompleks dan dunia terbuka, sedangkan mereka yang cenderung kompetitif sering memilih game seperti League of Legends atau Counter-Strike.

Contoh Kasus: Toxic Behavior dalam Game Online

Salah satu dampak nyata dari karakter manusia dalam game adalah munculnya toxic behavior, seperti trash-talking dan griefing. Fenomena ini sering terjadi dalam game kompetitif seperti Dota 2 atau Valorant, di mana tekanan untuk menang memicu emosi negatif. Penelitian dari Computers in Human Behavior (2018) mengungkap bahwa pemain dengan tingkat agresivitas tinggi cenderung lebih mudah terlibat dalam perilaku merusak di dalam game. Hal ini menunjukkan bahwa game tidak hanya dipengaruhi oleh kepribadian, tetapi juga dapat memperkuat atau memicu sisi gelap perilaku manusia.

Peran Empati dan Moralitas dalam Game

Karakter seseorang juga memengaruhi cara mereka berinteraksi dalam game, terutama yang melibatkan pilihan moral. Game seperti The Witcher 3 atau Mass Effect sering menuntut pemain membuat keputusan yang memengaruhi alur cerita. Penelitian dalam Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking (2014) menunjukkan bahwa pemain dengan tingkat empati tinggi cenderung memilih opsi yang lebih altruistik, sementara mereka yang kurang empatik mungkin mengambil jalan egois untuk keuntungan pribadi. Hal ini membuktikan bahwa game dapat menjadi media ekspresi nilai-nilai moral pemainnya.

Motivasi Bermain: Achievement vs. Social Connection

Menurut teori Self-Determination Theory (SDT) oleh Deci & Ryan (2000), motivasi bermain game dapat dikategorikan menjadi tiga: competence (pencapaian), autonomy (kebebasan), dan relatedness (keterhubungan sosial). Pemain yang berorientasi pada achievement akan fokus pada menyelesaikan tantangan dan mengumpulkan rewards, sementara yang lebih sosial menikmati kolaborasi dengan pemain lain. Sebuah studi dalam Computers in Human Behavior (2017) menemukan bahwa pemain MMORPG seperti World of Warcraft sering kali menjadikan game sebagai sarana pemenuhan kebutuhan sosial, terutama bagi mereka yang merasa terisolasi di dunia nyata.

Contoh Kasus: Perilaku Kompetitif vs. Kooperatif

Perbedaan karakter juga terlihat dalam gaya bermain—apakah seseorang cenderung kompetitif atau kooperatif. Dalam game seperti Overwatch atau Apex Legends, pemain dengan sifat kompetitif akan lebih agresif dan berfokus pada win rate, sementara pemain kooperatif lebih suka mendukung tim. Penelitian dari PLOS ONE (2019) mengungkap bahwa orang dengan kepribadian agreeableness tinggi lebih sering memilih peran support atau healer, menunjukkan bahwa game bisa menjadi ekstensi dari sifat alami seseorang.

Dampak Jangka Panjang: Perubahan Perilaku Setelah Bermain Game

Interaksi antara karakter manusia dan game tidak hanya satu arah—game juga dapat membentuk perilaku pemain dalam jangka panjang. Sebuah studi dalam Nature Human Behaviour (2022) menemukan bahwa pemain yang sering terlibat dalam game strategi seperti StarCraft II menunjukkan peningkatan kemampuan problem-solving dan kecepatan pengambilan keputusan. Di sisi lain, penelitian dari American Psychological Association (APA) (2018) memperingatkan bahwa paparan berlebihan terhadap game dengan konten kekerasan dapat meningkatkan agresivitas pada individu yang sudah memiliki kecenderungan impulsif. Temuan ini menunjukkan bahwa efek game sangat bergantung pada karakter dasar pemain dan jenis pengalaman virtual yang dipilih.

Kasus Ekstrem: Kecanduan Game dan Kepribadian Tertentu

Kecanduan game (gaming disorder) menjadi contoh nyata bagaimana interaksi antara kepribadian dan game bisa berujung negatif. Menurut World Health Organization (WHO) (2019), individu dengan sifat introver tinggi, kesulitan mengatur emosi, atau kebutuhan tinggi akan pelarian (escape) lebih rentan mengalami kecanduan game. Sebuah jurnal dalam Addictive Behaviors (2020) mengungkap bahwa pemain MMORPG yang menggunakan game sebagai pelarian dari stres nyata cenderung bermain secara kompulsif. Fenomena ini memperlihatkan bahwa game bisa menjadi cermin sekaligus amplifier dari masalah psikologis pemain.

Perbedaan Gender dalam Preferensi dan Perilaku Gaming

Karakter dan norma sosial juga memengaruhi cara berbeda gender bermain game. Penelitian Entertainment Software Association (ESA) (2023) menunjukkan bahwa wanita cenderung lebih menyukai game dengan narasi kuat (Life is Strange, The Sims), sementara pria lebih dominan di game kompetitif (Call of Duty, FIFA). Namun, studi dari Computers in Human Behavior (2021) mencatat bahwa perbedaan ini semakin berkurang seiring normalisasi gaming di semua gender. Faktor seperti stereotip sosial dan socialization masih memainkan peran, tetapi preferensi individu—seperti kepribadian openness atau competitiveness—ternyata lebih menentukan daripada gender.

Adaptasi Game Berbasis AI: Personalisasi Pengalaman Bermain

Perkembangan Artificial Intelligence (AI) dalam game modern memungkinkan adaptasi dinamik berdasarkan perilaku pemain. Contohnya, game seperti Alien: Isolation menggunakan AI untuk menyesuaikan kesulitan sesuai reaksi pemain, sementara The Last of Us Part II mengubah narasi berdasarkan pilihan moral. Penelitian dalam IEEE Transactions on Games (2021) menunjukkan bahwa personalisasi semacam ini meningkatkan keterlibatan emosional (immersion), terutama bagi pemain dengan kebutuhan tinggi akan cerita yang relevan secara personal. Namun, pertanyaan etis muncul—apakah AI bisa memanipulasi emosi pemain secara berlebihan berdasarkan kerentanan psikologis mereka?

Implikasi Sosial: Komunitas Gaming dan Pembentukan Identitas

Komunitas gaming sering menjadi ruang di mana pemain mengekspresikan sisi kepribadian yang mungkin tertekan di dunia nyata. Studi kasus dari Journal of Computer-Mediated Communication (2022) pada komunitas Animal Crossing menemukan bahwa pemain menggunakan karakter virtual (avatars) untuk mengeksplorasi identitas gender atau kepribadian alternatif. Di sisi lain, platform seperti Discord dan Twitch memfasilitasi pembentukan hubungan sosial yang mendalam, bahkan bagi mereka yang kesulitan bersosialisasi offline. Namun, fenomena echo chambers (ruang gema) dalam komunitas game kompetitif juga bisa memperkuat prasangka dan perilaku toxic, seperti yang diungkap Cyberpsychology Journal (2023).

Kasus Kontroversial: “GamerGate” dan Polarisasi Perilaku

Skandal GamerGate (2014) menjadi contoh ekstrem bagaimana karakter dan norma komunitas gaming bisa memicu konflik dunia nyata. Awalnya terkait kritik terhadap etika jurnalisme game, gerakan ini berkembang menjadi pelecehan terorganisir terhadap wanita dan minoritas di industri game. Analisis dari New Media & Society (2016) menghubungkan fenomena ini dengan karakteristik pemain tertentu—khususnya mereka yang memiliki ketakutan akan perubahan identitas “gamer” tradisional. Kasus ini memperlihatkan bahwa game bukan hanya dipengaruhi perilaku manusia, tetapi juga bisa menjadi pemicu konflik sosial ketika nilai-nilai dalam komunitas berbenturan.

Solusi dan Manajemen: Mengarahkan Pengaruh Game ke Arah Positif

Menyadari bahwa game memiliki kekuatan membentuk perilaku, pengembang mulai menerapkan mekanisme yang mendorong dampak positif. Fitur seperti “positive reinforcement” dalam Overwatch (contoh: memberi penghargaan untuk kerja tim) atau sistem “compassionate gameplay” di Kind Words dirancang untuk mempromosikan empati. Penelitian dari Games for Health Journal (2023) membuktikan bahwa game dengan elemen prososial dapat mengurangi agresi dan meningkatkan keterampilan sosial, terutama pada remaja. Langkah lain termasuk modul parental control dan edukasi literasi digital untuk membantu pemain mengelola pengalaman gaming secara sehat.

Masa Depan Interaksi Manusia-Game: Neurogaming dan Biofeedback

Perkembangan teknologi neurogaming (gabungan game dan neurosains) membuka babak baru dalam memahami hubungan perilaku manusia-game. Perangkat seperti EEG headset dalam game Throw Trucks With Your Mind memungkinkan pemain mengontrol aksi melalui gelombang otak, sementara game Hellblade: Senua’s Sacrifice menggunakan riset psikosis untuk menciptakan pengalaman imersif. Menurut Journal of Gaming & Virtual Worlds (2024), teknologi ini tidak hanya meningkatkan immersion, tetapi juga berpotensi menjadi alat terapi untuk gangguan kecemasan atau ADHD—dengan catatan adanya pengawasan etis ketat.

Game sebagai Cermin dan Pembentuk Kemanusiaan

Game telah berevolusi dari sekadar hiburan menjadi medium kompleks yang memantulkan sekaligus membentuk karakter manusia. Mulai dari preferensi genre hingga perilaku dalam komunitas virtual, setiap aspek gaming terikat erat dengan psikologi individu dan dinamika sosial. Tantangan ke depan adalah memastikan bahwa industri game memanfaatkan pengaruhnya secara bertanggung jawab—melalui desain yang beretika, riset berkelanjutan, dan kolaborasi dengan psikolog serta pendidik. Seperti kata ahli game design Jane McGonigal dalam bukunya Reality is Broken“Game tidak mengubah kita. Mereka mengungkap siapa kita sebenarnya.”

Dari analisis kepribadian hingga implikasi sosial, artikel ini menunjukkan bahwa game adalah fenomena psikososial yang kompleks. Dengan memahami interaksi antara perilaku manusia dan gaming, kita dapat memaksimalkan dampak positifnya sambil meminimalkan risikonya—baik sebagai pemain, pengembang, atau pengamat budaya digital.

Referensi:

Deci, E. L., & Ryan, R. M. (2000). The “what” and “why” of goal pursuits: Human needs and the self-determination of behavior. Psychological Inquiry.

ESA. (2023). Essential Facts About the Video Game Industry. Entertainment Software Association.

– Gazzaley, A. (2024). Neurogaming: The Future of Brain-Computer Interfaces in Entertainment. Journal of Gaming & Virtual Worlds.

– Graham, L. T., & Gosling, S. D. (2010). Personality profiles associated with different motivations for playing video games. Journal of Personality and Social Psychology.

– Granic, I. (2023). The Power of Prosocial Games: Evidence-Based Strategies for Positive Impact. Games for Health Journal.

– Granic, I., Lobel, A., & Engels, R. C. (2014). The benefits of playing video games. American Psychologist.

– Greitemeyer, T., & Osswald, S. (2010). Effects of prosocial video games on prosocial behavior. Journal of Personality and Social Psychology.

– Kowert, R. (2022). Social Identity in Online Gaming Communities. Journal of Computer-Mediated Communication.

– Kowert, R., & Oldmeadow, J. A. (2015). (A)Social reputation: Exploring the relationship between online video game involvement and social competence. Computers in Human Behavior.

– Massanari, A. (2016). #Gamergate and The Fappening: How Reddit’s Algorithm, Governance, and Culture Support Toxic Technocultures. New Media & Society.

– McCrae, R. R., & John, O. P. (1992). An introduction to the five-factor model and its applications. Journal of Personality.

– McGonigal, J. (2011). Reality is Broken: Why Games Make Us Better and How They Can Change the World. Penguin Press.

– Smith, A. N. (2021). AI-Driven Dynamic Difficulty Adjustment in Games: Ethical Implications. IEEE Transactions on Games.

– World Health Organization. (2019). Gaming disorder. ICD-11.

– Yee, N. (2017). The Proteus Paradox: How Online Games and Virtual Worlds Change Us—And How They Don’t. Yale University Press.

Analis Nilai Israel Kena Batunya karena Remehkan Kekuatan Iran

Quote:

Dahulu mereka mengatakan kalau Iran hanya bisa bicara

Sekarang mereka semua meminta, Iran harusnya berbicara saja…jangan membalas

Yah, klo cuma tanah n bangunan sebagai Iron Dome

Indonesia juga punya kaliemoticon-Leh Uga