
Di sebuah kota kecil bernama Sembara, ada sebuah jalan yang tidak pernah dilalui siapa pun saat malam tiba. Jalan itu bernama Jalan Seruni. Bukan karena berbahaya, bukan pula karena rusak. Tapi karena satu hal: **lampu jalan di ujungnya tak pernah padam**—bahkan saat listrik seluruh kota mati.
Lampu itu berdiri tegak di samping bangku tua dan pohon mahoni besar. Seperti biasa, lampu menyala kekuningan, redup namun cukup terang untuk menerangi sekitar. Beberapa orang bilang itu lampu biasa. Tapi warga lama tahu: **itu bukan lampu biasa.**
Kisah ini bermula dari seorang pemuda bernama Danu. Ia baru saja pindah ke Sembara bersama ibunya setelah ayahnya meninggal dunia. Mereka menyewa rumah kecil di dekat Jalan Seruni. Danu tidak tahu apa-apa tentang lampu misterius itu. Baginya, semua hanya cerita kosong warga kampung.
Satu malam, saat listrik padam karena badai, Danu keluar untuk menelpon temannya. Sinyal di rumahnya buruk. Ia berjalan tanpa sadar menuju Jalan Seruni—dan melihat cahaya kecil dari kejauhan. Lampu itu bersinar tenang, berbeda dari lampu lain. Saat mendekat, Danu merasa udara di sekitarnya berubah. Sejuk, namun seperti ditarik perlahan ke dalam kenangan.
Ketika ia duduk di bangku di bawah lampu itu, tiba-tiba suara berbisik terdengar. Bukan menyeramkan, melainkan lembut, penuh kasih. Suara itu berkata,
> “Kau punya luka yang belum kau terima…”
Danu terdiam. Lalu cahaya lampu menghangat dan sebuah bayangan perlahan muncul di hadapannya. Sosok ayahnya—tersenyum, duduk di sampingnya, seolah hidup kembali.
“Ayah?” Danu berbisik.
Bayangan itu tidak menjawab, hanya memandangnya dengan mata teduh. Dan seketika, segala rasa marah, sedih, dan kehilangan yang ia pendam selama ini pecah. Ia menangis, menumpahkan semua yang selama ini ia sembunyikan.
Tak lama kemudian, cahaya itu meredup. Sosok ayahnya menghilang. Dan lampu kembali bersinar biasa.
Keesokan harinya, Danu menceritakan semuanya kepada ibunya. Tapi sang ibu hanya diam, lalu tersenyum. “Aku juga pernah melihat ayahmu di sana,” katanya pelan.
Hari-hari berlalu. Danu mulai sering melihat orang-orang datang ke lampu itu diam-diam. Ada yang hanya duduk sambil menggenggam foto, ada yang menangis, ada pula yang tersenyum dan bicara pelan, seolah berdialog dengan seseorang yang tak terlihat.
Lalu Danu mengerti. Lampu itu bukan sekadar lampu. Ia adalah **penjaga kenangan**, tempat jiwa-jiwa yang belum selesai bisa berpamitan, dan hati-hati yang terluka bisa belajar menerima.
Namun, lampu itu tidak bisa ditemukan oleh sembarang orang. Ia hanya menyala bagi mereka yang benar-benar memerlukan pertemuan terakhir—dan berani menghadapinya.
Tahun-tahun kemudian, Danu tumbuh dewasa dan menjadi guru di kota itu. Ia sering menulis tentang kenangan, tentang kehilangan, dan tentang menerima. Tapi satu hal yang tidak pernah ia ceritakan di depan umum adalah malam ketika ia bertemu dengan cahaya terakhir dari ayahnya.
Sampai akhirnya, saat ia sudah tua, Danu berjalan pelan menuju Jalan Seruni, tubuhnya renta, namun hatinya tenang. Lampu itu masih menyala, menanti satu perpisahan terakhir.
Dan malam itu, seorang anak kecil lewat dan melihat kakek tua duduk sendiri di bawah cahaya lampu.
Tapi keesokan paginya, hanya bangku kosong yang tersisa. Lampu masih menyala.
Seperti biasa.
—