Gua lupa kapan tepatnya.
Setelah menunggu berjam-jam karena satu-satunya televisi yang kami punya dipakai Ines untuk menonton serial televisi favoritnya. Akhirnya, tiba giliran gua; bermain game.
Jam menunjukkan pukul 10 malam saat Ines menyusul Abang (Kami memanggil anak sulung gua dengan sebutan ‘Abang’) ke dalam kamar. Sebelum masuk ke dalam, saat tengah memegang gagang pintu kamar, ia menatap gua dengan matanya yang sayu, lalu bicara; “Kamu mau main PS?”
“Iya… Hehe”Jawab gua sambil terkekeh dan mengambil controller.
“Emang besok nggak kerja?” Tanyanya lagi.
“Kerja.. Sebentar doang kok”
“Oh, yaudah.. Jangan lama-lama…” Balasnya, lalu masuk ke dalam kamar.
Gua mulai memainkan game sepak bola favorit semua orang. Satu pertandingan ‘Career Mode’ selesai, gua melirik ke arah jam pada dinding ruang tamu; ‘Ah, satu game lagi deh’ batin gua dalam hati, lalu kembali bermain. Terus berulang hingga entah sampai pertandingan ke sekian.
Tiba-tiba, saat game tengah memunculkan loading screen, gua mulai mendengar suara yang aneh dari dalam kamar. Suaranya seperti geraman yang samar, saking samarnya gua sampai mendekat dan menempelkan telinga ke sisi depan pintu kamar; mencoba mendengar lebih jelas. Dan, masih terdengar geraman samar yang sama.
Gua mengernyitkan dahi; “Ngapain sih?” Gumam gua pelan, lalu dengan hati-hati membuka pintu kamar. Kondisi kamar saat itu dalam keadaan gelap, hanya sinar dari layar televisi di ruang tamu yang menembus masuk ke dalam; menjadi satu-satunya sumber cahaya. Terlihat Abang tertidur pulas, meringkuk pulas di sisi ranjang yang paling jauh dari pintu. Sementara, Ines berada di tepian ranjang, hampir jatuh. Gua menekan saklar untuk menyalakan lampu.
Kini terlihat dengan jelas, tubuh Ines yang bergerak-gerak kaku; kejang. Sementara, matanya terbuka, membelalak ke atas, dan dengan mulut penuh busa.
“Astagfirullah…” Seru gua, lalu bergegas mendekat. Dengan cepat gua membuka mulutnya dan memasukkan jari-jari gua; mencegahnya agar ia nggak menggigit lidahnya sendiri. Paling nggak itu hal yang gua tahu saat menghadapi orang yang tengah kejang. Belakangan baru gua sadari kalau hal itu salah.
Gua hanya terus begitu sampai kejangnya berhenti.
Setelah nggak lagi kejang, Ines terkulai lemas seperti kehilangan seluruh tenaganya.
Gua mulai menggoyangkan tubuhnya dengan perlahan seraya menyebut namanya; “Nes.. Nes…”
Ines membuka matanya, ia menatap gua; bingung.
“Kamu kenapa?” Tanya gua sambil berbisik dekat telinganya.
“…” Ines nggak menjawab, ia hanya terdiam sambil terus menatap gua kemudian beralih menatap ke arah lain. Persis seperti orang yang linglung.
Setelah beberapa saat, barulah kesadarannya benar-benar utuh. Ia malah balik bertanya; “Kenapa?”
“Hah, kamu yang kenapa?” Gua balik bertanya.
Kemudian beranjak ke dapur, mengambilkannya segelas air hangat dan kembali ke kamar. Setelah ia cukup tenang, gua mulai menceritakan kejadian barusan; tentang ia yang kejang.
“Ah, masa sih?” Tanyanya, kini mulai memegangi kepalanya.
“Pusing?”
“Iya…” Jawabnya sambil mengangguk.
“Tolong ambilin obat dong…” Pintanya.
Gua mulai mencari obat pereda sakit kepala di laci disisi ranjang, lalu memberikannya ke Ines. Setelah minum obat, gua membiarkannya kembali tidur. Sementara, nggak ada lagi semangat untuk malanjutkan bermain game. Sisa malam itu, gua hanya duduk di lantai, di sisi ranjang sambil menggenggam tangannya; takut kalau kejang itu datang lagi.
Besok pagi, sebelum gua berangkat bekerja, kami berdua kembali membahas kejadian semalam. Ines kekeuh dengan asumsinya kalau mungkin saja ia hanya kelelahan. Sementara, gua nggak langsung menerima asumsinya. ‘Nggak mungkin, kelelahan sampai kejang’ Batin gua.
Gua lalu menghubungi Bokap dan Nyokap; menceritakan kejadian semalam.
“Udah bawa ke sini aja, Biar dikasih aer ntar ama Baba Sukri…” Nyokap memberi solusi, menganggap kalau apa yang menimpa Ines berhubungan dengan hal mistis. Dan bisa diselesaikan dengan air jampi-jampi dari ustad.
Jangan tanya, gua percaya apa nggak sama solusi dari Nyokap, ya jelas nggak. Tapi, berada di sana; di rumah Nyokap tentu lebih aman ketimbang meninggalkan Ines sendiri di rumah di saat gua pergi bekerja. Ya sebenernya nggak sendirian juga sih; karena ada Abang dan mbak yang bantu-bantu cuci dan setrika.
Jadi, pagi itu kami bertiga eksodus ke rumah Nyokap. Kemudian gua berangkat ke kantor.
Di kantor, gua terus mengirim pesan ke Ines; ingin memastikan kalau ia baik-baik saja. Dan, nyatanya Ines memang merasa baik-baik saja, merasa sehat wal-afiat.
“Apa gara-gara abis minum air jampi-jampi ya, yah?” Tanyanya, pilon.
“Halah, ngawur. Mana ada aer jampi-jampi…” Respon gua. Sedikit lega karena tahu Ines baik-baik saja.
Hari berganti hari.
Ines tetap merasa sehat. Nggak lagi merasa pusing apalagi kejang. Kami kembali menjalani hidup seperti nggak pernah terjadi apa-apa. Gua mulai meyakini asumsi Ines sebelumnya kalau ia begitu karena kelelahan saja. “Ah iya kali, ya…”
Namun, tepat satu bulan setelah kejadian itu. Gua yang tengah bekerja di kantor mendapat panggilan telepon. Layar ponsel gua, menampilkan nama; ‘Ines’.
Santai, gua menjawabnya; “Halo…” Sapa gua.
Terdengar dari ujung sana, suara si mbak Eceu yang biasa membantu di rumah. Baru mendengar suaranya saja, gua langsung panik. Sadar kalau pasti ada hal yang nggak beres terjadi di rumah.
“Halo pak, ini si ibu tadi kojot-kojot tea… Kumaha?” Ujarnya, suaranya terdengar panik.
“Hah, kejang?”
“Ho oh…”
“Masih?”
“Udah berhenti, sekarang mah udah di kamar, rebahan…” Jawabnya.
“Oh yaudah, saya pulang deh…” Jawab gua, lalu langsung meluncur pulang.
Begitu tiba di rumah, sudah terlihat mobil milik Ika; adik perempuan gua terparkir. Gua tentu tambah panik.
Di dalam kamar terlihat mereka berdua; Ika dan Ines tengah asyik berbincang sambil cengengesan.
“Kamu kejang lagi?” Tanya gua ke Ines.
“Katanya sih iya…” Jawab Ines, santai.
“Kok katanya?”
“Ya aku kan nggak ngerasa apa-apa, cuma pusing doang…” Jawabnya.
Gua beralih ke Mbak Eceu dan bertanya tentang kronologinya. Ia lalu menceritakan semuanya. Berdasar penuturannya; Ines mengalami kejang yang sama persis dengan kejadian sebulan yang lalu. Akhirnya dengan bantuan Ika, kami melakukan riset; bertanya ke sana kemari sambil mencari tahu melalui internet tentang apa yang dialami oleh Ines.
Kami lalu sepakat membawa Ines ke Dokter Spesialis Saraf. Rumah sakit pertama yang kami tuju adalah; RSUD Pesanggrahan, sengaja dipilih karena lokasinya yang dekat dengan rumah nyokap. Jadi kalau terjadi apa-apa bisa gampang ngurusnya.
Dokter yang menangangi kami masih tergolong muda untuk ukuran dokter spesialis. ‘Ah, mungkin saja memang dia pintar’ Batin gua dalam hati. Sementara, si dokter mulai melakukan pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan dan sesi tanya jawab singkat, si dokter lantas membuat diagnosa; “Wah, epilepsi nih kayaknya”
Sontak kami berdua langsung terdiam; kaget bukan main. ‘Kok bisa!?’
Tapi, namanya juga dua-duanya kepala batu. Kami nggak langsung bisa menerima diagnosanya. Setelah tanya sana-sini, kami sepakat untuk melakukan beberapa tes biar diagnosanya tepat. Sekalian mencari second opinion dari dokter berbeda.
Rumah Sakit Puri Cinere jadi tujuan kami. Alasannya, pertama karena cukup dekat dari rumah. Dan alasan berikutnya; Tempat itu jadi satu-satunya rumah sakit paling dekat yang memiliki alat tes-nya.
Hari itu, Ines menjalani serangkaian tes. Sementara sambil menunggu gua sibuk menghubungi teman di bagian ‘benefit’ untuk bertanya apa test semacam ini bisa di-klaim.
Satu jam berlalu, test selesai. Kami kembali menunggu untuk bertemu dengan dokter spesialis saraf yang akan membacakan hasil testnya.
“Imanes…” Seru salah seorang perawat. Kami berdiri dan mendekat, ia menuntuk kami masuk ke salah satu ruang dengan pintu berawarna putih bertuliskan ‘Dokter Sujatmiko’.
“Halo…. selamat sore…” Sapa si dokter ramah dan penuh senyum.
“Sore dok…” Balas kami berdua.
Lalu memulai sesi konsultasi dengan menceritakan kronologi yang dialami Ines. Ia mendengarkan dengan seksama sambil sesekali mengangguk. Sementara, tangannya membolak-balik lembaran kertas yang berisi hasil test yang dijalani Ines tadi.
“Pas kejang, siapa yang liat?” Tanyanya setelah Ines selesai bercerita.
Gua mengangkat tangan; “Saya dok…”
“Gimana kejangnya, ceritain…” Pinta si Dokter.
Gua mulai bercerita melalui sudut pandang gua, detail demi detail, nggak ada yang terlewat.
“Kata dokter di rumah sakit lain aku epilepsi dok, bener nggak?” Tanya Ines, sesaat setelah gua selesai bercerita.
Si dokter yang biasa dipanggil Dokter Eko itu, hanya tertawa mendengar pertanyaan dari Ines. Ia lalu mulai menjelaskan tentang penyebab kejang. Tentang aliran listrik lah, tentang saraf dan oksigen di otak lah, dan banyak istilah lainnya. Pun, ruwet tapi kami cukup bisa mengerti tentang penjelasannya. Di akhir sesi ia lalu menulis resep dan memberikan himbauan; “Jangan capek-capek dulu ya..”
“Iya dok…”
“Ini kita mulai terapi obat. Bulan depan, datang lagi…”
Ines mulai mengkonsumsi obat sesuai aturan dokter Eko. Genap sebulan, kami kembali datang untuk konsultasi; konsultasi yang isinya hanya berbincang saja karena nggak terjadi apa-apa terhadap Ines. Ia lalu kembali meresepkan obat yang sama namun dengan dosis yang berbeda.
“Dua bulan, datang lagi ya…” Ucapnya sebelum kami pergi.
Hal yang sama terjadi beberapa bulan setelahnya. Dan setiap kali selesai berkonsultasi, Dokter Eko selalu meresepkan obat yang sama namun dosisnya semakin lama semakin kecil. Intensitas konsultasi juga semakin sedikit dengan interval yang panjang. Sementara, Ines sudah nggak lagi mengalami kejang.
Setelah nyaris dua tahun, dari yang awalnya Ines mengkonsumsi obat sehari dua kali. Hingga di akhir tahun kedua, Ines hanya perlu mengkonsumsi obat satu kali sebulan. Kami kembali datang untuk konsultasi. Kali ini, Dokter Eko meminta Ines kembali menjalani tes. Tes yang sama dengan yang ia jalani dua tahun kebelakang.
Dokter Eko menyodorkan dua lembar kertas yang berisi grafik mirip dengan hasil getaran seismik gempa bumi. Ia menunjuk ke arah lonjakan garis-garis satu sama lain, garis yang berbeda dengan lembaran sebelumnya.
“Ini, lonjakan listrik di otak; tinggi kan?” Ucapnya sambil menunjuk garis berwarna merah yang membentuk kurva tinggi.
“…”
“… Nah, kalo yang ini. Hasil tes yang tadi.. Udah nggak tinggi kan?” Kali ini ia menunjuk ke garis yang sama namun berada di lembar yang berbeda.
“Iya…” Kami menjawab kompak.
“Nah, lonjakan listrik ini yang kemungkinan besar bikin kamu kejang…” Ucapnya.
Ia lalu mulai menjelaskan kalau yang dialami Ines memang epilepsi. Tapi, ia sengaja nggak mau sekalipun menyebutkannya; ia mau memberikan afirmasi postif kepada si pasien yang pasti bakal shock kalau mendengar tiba-tiba menderita epilepsi. Setelah memberi penjelasan, dokter Eko lalu berdiri dan menyodorkan tangannya; mengajak bersalaman.
“Sehat-sehat ya Mbak Ines, Mas Boni… Semoga kita nggak ketemu lagi…”
“…”
“… Di sini…” Tambahnya sambil diiringi tawa.
Kini, Ines nggak pernah lagi kejang. Obatnya hanya ia minum sekali selama 6 bulan.
Lalu, kenapa gua menceritakan hal ini?
Begini…
Belum lama, takdir mempertemukan gua dengan seorang dokter. Dokter yang menurut gua unik, kalau nggak mau menggunakan kata ‘nyeleneh’. Setelah beberapa kali bertemu dan berbincang, sosok dokter unik ini berhasil memutar balikkan sudut pandang gua sebagai manusia. Memporak prandakan logika berpikir gua, sampai-sampai gua harus mempertanyakan apa yang selama ini gua yakini benar.
Dulu, gua pernah mengenal sosok manusia yang punya kecerdasaan diatas rata-rata. Gua juga mengenal orang yang sejak lahir punya bakat yang istimewa. Tapi, orang ini berada di level yang berbeda. Ia memang nggak punya aura juara. Ia bahkan terlihat penuh kepalsuan. Ia intimidatif dan seakan menyimpan banyak rahasia. Tapi, dibalik itu semua ia adalah sosok berhati mulia dan pemilik otak paling cemerlang yang pernah gua kenal.
Dan, cerita ini adalah tentang dirinya. Tentang sosok yang selalu mencoba mengerti orang lain. Tanpa pernah mendapat pengertian dari dunia.
Dia adalah berlian paling bersinar diantara batu mulia lainnya. Ia bahkan lebih bersinar ketimbang berlian lainnya.
Diamante!
Spoiler for Disclaimer:
